Ketika Chairil Anwar menulis larik sajaknya dalam puisi ‘Yang Terempas dan yang Putus’, “di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.), sampai juga deru angin”, banyak orang yang membacanya yakin bahwa penyair ini mempunyai kekuatan paranormal: dia bisa meramalkan bahwa dirinya akan meninggal dunia.
Karet memang nama sebuah kompleks pemakaman di Jakarta, dan Chairil memang segera mengembuskan napas terakhirnya pada 28 April 1949; sementara puisi tersebut ditulis pada tahun yang sama.
Chairil adalah legenda. Cerita lain tampak dalam peristiwa yang kemudian dikisahkan kembali oleh Evawani Alissa, satu-satunya anak Chairil—yang ditinggal mati saat usianya baru 10 bulan. Dalam sebuah percakapan dengan Hapsah Wiriaredja, ibu Evawani, Chairil berucap bahwa jika umurnya bakal panjang, dirinya akan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, jika usianya pendek, sebagaimana kata Chairil, “Anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga.” Chairil tidak salah. Usianya memang pendek. Dihitung dari tanggal lahirnya, 26 Juli 1922, umurnya tak sempat genap 27 tahun. Soal anak-anak sekolah, esensinya, dia juga benar: namanya menjadi hafalan wajib dan sajak-sajaknya menjadi bacaan wajib, terutama untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Soal ziarah dan menabur bunga, tampaknya tak harus dimaknakan secara harfiah. Yang jelas, hingga kini tanggal kematiannya diam-diam telah dijadikan sebagai patokan Hari Sastra Nasional.
Dari sejumlah sajaknya telah lahir sejumlah juara baca puisi dan deklamasi, mengingat salah satu puisi wajibnya kerap diambil dari karya Chairil. Juga dari sajak-sajaknya—tercatat ada 70 puisi asli, di samping 10 puisi terjemahan, empat puisi saduran, empat prosa terjemahan, dan enam prosa asli, termasuk naskah pidato—telah pula terlahirkan sejumlah sarjana, baik sarjana sastra maupun sarjana psikologi sebagaimana sosiolog Arief Budiman, yang kemudian membukukan skripsinya: Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1976).
Masih berkait dengan pelegendaan atas dirinya, berbagai tingkah laku Chairil menjadi semacam acuan bagi para seniman yang selama ini menganggap kehidupan Chairil tidak pernah tertata: pakaian lusuh, wajah kotor, dekat dengan berbagai kalangan, dan berkarib dengan berbagai penyakit. Juga tentang gaya hidupnya yang tak teratur yang kemudian membuatnya akrab dengan beragam penyakit. Anak angkat Sutan Takdir pernah menemukan tubuh Chairil sedang tergolek tanpa alas sama sekali di sebuah ujung gang.
Asrul Sani, karibnya, juga pernah mengisahkan bagaimana sahabatnya itu berniat mencuri sebuah buku filsafat di sebuah toko buku, sementara yang tercuri ternyata malah kitab Injil—karena keduanya sama-sama tebal dan sampulnya sama-sama berwarna hitam.
Namun, untuk gaya berpakaian yang dikesankan kacau, Asrul Sani menyangkal dengan menginformasikan bahwa dalam berpakaian, Chairil bahkan terkesan dandy: Leher kemeja senantiasa kaku dikanji saat dicuci dan pakaiannya selalu rapi terseterika.
Begitulah legenda.
Dia menjadi keniscayaan bagi sosok yang dianggap tertempatkan dalam posisi lebih tinggi. Tentu, tak sebatas tingkah fisikal yang pantas dicatat. Sajak-sajaknya dianggap sebagai representasi pemberontakan terhadap tatanan yang berlaku masa itu.
Dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern sendiri, Chairil memberontak terhadap pola estetika sastra yang dihasilkan babakan sebelumnya, yakni Angkatan Pujangga Baru, yang dimotori Sutan Takdir Alisjahbana. Bahwa pada era sebelumnya penyair Roestam Effendi juga ingin melakukan yang sama, yakni dengan mendendangkan “Untaian seloka lama beta buang, beta singkiri…”, toh Chairil tidak ingin terjebak pada pemberontakan, tapi tetap dengan menggunakan idiom yang diberontaki.
Chairil tidak mendayu-dayu lewat kata-kata “beta” dan sejenisnya, tapi dia bahkan dengan tegas dan tajam menunjuk diri: “aku!”—yang kemudian juga menjadi larik-larik legendaris seperti dalam sajak ‘Aku’, yang awalnya bertajuk ‘Semangat’ itu: “Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Aku mau hidup seribu tahun lagi”
Ada yang menyebut sebagian besar sajaknya cenderung sebagai sajak podium—yang terasa lebih klop saat dibacakan di hadapan khalayak—ketimbang sajak kamar, yang lebih pas jika dibaca sendiri-sendiri dan membuhulkan interpretasi sendiri-sendiri di antara pembacanya.
Justru karena itulah sajak-sajak podiumnya memberi sumbangan besar bagi sajak-sajak yang ditulis Angkatan 66, atau sajak-sajak pamflet Rendra, serta umumnya sajak-sajak protes masa mutakhir, sehingga semuanya tidak terasa sebagai loncatan yang ahistoris.
Terlepas dari pemilahan dua terminologi ini, selain Chairil sendiri juga menghasilkan sajak-sajak kamar—juga tanpa harus membedakan keduanya dalam urusan dan urutan kualitas—pilihan kata yang dimanfaatkan Chairil menjadi pembeda dengan sastrawan seangkatan.
Di tangannya, bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, lebih punya vitalitas, lebih cerdas, dan tiada ruang kosong di antara pilihan-pilihan kata itu. Satu hal yang kemudian teracuni oleh bahasa para pejabat pemerintah yang membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa yang penuh hipokrisi.
Pemberontakan Chairil tak sebatas pada ungkapan estetik sastra. Dalam keseharian, sekalipun dia berbapak-ibu asal Minangkabau, dia menolak dipanggil dengan sebutan “uda”. Dia memilih agar dirinya dipanggil “nini”.
Itu pula yang pernah dipesankan kepada istrinya agar anak mereka pun memanggil dengan sebutan versinya itu, kendati anak mereka tak sempat memenuhi permintaan itu karena ayahnya keburu dipanggil menghadap Tuhan gara-gara TBC, tifus, dan penyakit lainnya keburu menggerogotinya.
Sejumlah naskahnya yang diniatkan untuk membayar obat dan biaya perawatan dokter—termasuk karya saduran yang kemudian diakui sebagai gubahannya sendiri, agar honornya lebih tinggi—ternyata juga tak mampu membendung gerogotan maut.
Sumber: TEMPO ‘Edisi Milenium’, 10 Januari 2000
No comments:
Post a Comment