Naskah Teater : BALADA LANGGAR TUA - Alfanul Ulum F.S.


Disadur dari cerpen
“Robohnya Surau Kami” karya A. A. Navis

Panggung lengang. Lampu temaram. Perlahan lampu menyala. Para kru masuk menata panggung. Sutradara masuk untuk mengarahkan kru yang sedang bekerja dengan sedikit tergesa-gesa sambil membelakangi penonton.


Sutradara           : Hei, ayo cepat! Ya, itu diangkat ditaruh sini. Hoi! Cepat! Jalan kok kayak kura-kura. Ini sudah mau dimulai. Sebentar lagi penontonnya datang. Mumpung penontonnya masih ngantri tiket. (Menengok penonton) Eh, sudah ada penonton, toh? Maaf, maaf. Anu, ini masih nyetting. Sabar sebentar ya? Aduh, bagaimana ini? Mana sih MC nya? Mas, mbak, MC nya mana?
Seseorang          : Ke kamar mandi!
Sutradara           : Hah? Ke kamar mandi? Waduh! Ya sudahlah. (pada penonton) Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya, pertunjukannya agak molor sedikit. Oh, ya, perkenalkan, saya sutradara pementasan ini. Sudah tahu judulnya, kan? Lho, belum tahu? Gimana sih? Judulnya adalah “Balada Langgar Tua” karya (menunjuk dada) saya. Hebat, kan?
Pemusik             : Nggaaaak....
Sutradara           : (pada pemusik) Lho, kok nggak? Jawab iya, gitu lho!
Pemusik             : Nggaak. Sukanya marah-marah!
Sutradara           : Hush!! (Pada penonton) Maaf ya penonton. Mereka kadang-kadang suka bercanda. (pada pemusik) Hei, bilang bagus gitu, lho! Nanti kalau aku mendapat penghargaan, kalian semua kutraktir bakso, ok?
Pemusik             : (dengan ogah-ogahan) Ya sudah, bagus.
Sutradara           : Nah, begitu. (Pada penonton) Sampai di mana kita tadi? Oh, iya. “Balada Langgar Tua”. Ide cerita ini saya dapatkan dari sebuah kisah nyata. Saya punya teman yang tinggal di desa. Dulu di desanya tersebut ada sebuah langgar, atau mushola, yang....
Aktor 1              : Maaf, Pak Sud. Ini bagaimana make up saya?
Sutradara           : Kamu tidak pernah diajari tentang timing, ya? Ada apa?
Aktor 1              : Make up saya bagaimana?
Sutradara           : Kamu mau main jaranan? Ini terlalu tebal. Terlalu menor. Sana dihapus. (Aktor 1 keluar) Maaf, penonton. Oh iya, tadi sampai di mana cerita saya? Oh iya, langgar atau mushola tua yang dijaga oleh orang tua. Nah di situ....
(masuk lagi seorang aktor dengan kostum malaikat maut)
Sutradara           : Innalillahi! Kamu jadi apa?
Aktor 2              : (hanya menggeram)
Sutradara           : Kamu ini jadi apa?
Aktor 2              : (masih menggeram sambil mengangkat tangan)
Sutradara           : Astghfirullahhal’adzim. Bikin orang emosi saja. Kamu ini jadi apa?
Aktor 2              : Jadi malaikat maut! Masak gak liat?
Sutradara           : Hei! Di sini tidak ada malaikat maut. Ini drama realis.
Aktor 2              : Lho, katanya kemarin surealis. Ada setan-setan dan malaikat maut.
Sutradara           : Malaikat maut gundulmu! Saya ini sutradaranya! Kok masih membantah.
Aktor 2              : Ya sudah, nurut. (keluar)
Sutradara           : Ampuun.
(masuk aktor 3)
Sutradara           : Apa lagi?
Aktor 3              : Kostum saya bagaimana?
Sutradara           : Kostum?
Aktor 3              : Iya, sudah matching ga? Nanti kan saya jadi kembang desa di pertunjukan ini.
Sutradara           : Kembang desa? Siapa yang menyuruh kamu jadi kembang desa? Lagipula, siapa yang menyuruh kamu main? Tugasmu itu menyediakan konsumsi di belakang.
Aktor 3              : Tapi saya ingin main.
Sutradara           : Keluar!
(Aktor 3 keluar sambil menggerutu.)
Sutradara           : Ya ampun. Tidak ada yang beres. Ini sebenarnya teater apa sih? Kacau benar. Sudah selesai apa belum panggungnya?
Kru                    : Ini, Pak kurang sedikit.
Sutradara           : Ok, baiklah. Lho, sebentar. Kamu kok nyetting? Bukannya kamu jadi aktor?
Kru                    : Lho iya toh? Katanya saya tata panggung?
Sutradara           : Kamu main! Cepet ganti kostum! Ya, ampun. Tidak ada yang beres. Maaf penonton. Beginilah jadinya kalau para aktor tidak tahu perannya masing-masing. Semuanya kacau. Semuanya berantakan. Untung tidak sampai jatuh korban jiwa.
                          Ya sudahlah. Karena semua sudah terlanjur tertata, dan Anda semua juga sudah terlanjur datang di sini. Maka dengan berat hati dan tidak bangga, kami persembahkan sebuah lakon berjudul “Balada Langgar Tua”. Selamat menyaksikan!
Tepuk tangan penonton. Hening sesaat. Seorang tua, Kakek, masuk menuju langgar, akan sholat. Ia memukul kentongan terlebih dahulu dengan irama yang khas. Kemudian berkumandang adzan (hanya bagian awalnya saja) dan langsung disambut dengan musik pembuka.
Saat musik pembuka mengalun, lampu pasang surut sambil menampilkan potongan berbagai kejadian di waktu yang berbeda, antara lain:
-          Kakek menyapu langgar sendiri,
-          Kakek sholat sendiri di langgar, sedangkan orang-orang hanya sekedar lewat.
-          Kakek mengisi gentong air. Ada beberapa anak yang berlarian di sekitar surau. Kakek memarahi mereka.
Musik usai. Lampu menyala. Mbah Man berjalan pelan sambil membawa sapu lidi, ia menyapu halaman langgar yang kotor.
Mbah Man      : Alhamdulillah, mangga-mangga itu sudah terlihat matang. Sebentar lagi panen mangga. Biarpun tidak ikut memiliki, tapi kalau ikut merawat ya ikut merasakan juga hasilnya. Alhamdulillah (melanjutkan menyapu)
Datang seorang ibu separuh baya yang akan berangkat ke pasar.
Mbok Pairah    : Mbah, nitip pisauku ya? Buat memotong sayur saja gak mempan.
Mbah Man       : Oh, iya. Wah dapat bentoel banyak?
Mbok Pairah    : Oh ini, iya. Dapat di sekitar tegalannya Pak Mahmud. Mau, Mbah?
Mbah Man       : Tidak, tidak usah. Terima kasih.
Mbok Pairah    : Gak usah sungkan, Mbah. Ini, Mbah. Bisa buat nanti malam.
Mbah Man       : Waduh, jadi merepotkan.
Mbok Pairah    : Ah, enggak. Ya sudah. Saya tinggal ke pasar dulu.
Mbah Man       : Oh iya, mau diambil kapan?
Mbok Pairah    : Nanti sepulang dari pasar. (keluar)
Mbah Man melanjutkan aktivitasnya. Joko masuk dengan membawa karung berisi rumput dan clurit di tangannya.
Joko                             :(meletakkan karung) Assalamualaikum Mbah, wuaduh, rajin sekali toh mbah.
Mbah Man      :Waalaikumsalam (tanpa menoleh, seakan sudah terbiasa). Lho, kalau gak aku, mau siapa lagi yang mau? Wong setiap hari aku juga tidur di sini.
Banyak sekali rumputnya. Ngarit di mana?
Joko                 : Di seberang kali Icir sana. Dekat ladangnya Pak Bambang.
Mbah Man       : Wah, jauh sekali.
Joko                             : Iya, Mbah. Mau bagaimana lagi. Yang di dekat ladang tebu sudah jadi pabrik rokok.
Mbah Man      : Iya, ya. Sekarang banyak pabrik di kampung kita. Dulu, jaman aku masih muda, di situ masih banyak pohon. Ini saja (menunjuk surau) kayunya diambil dari sana.
Joko                : Oh, iya, Mbah. Kata Cak Di, dulu di kali Icir itu ada kerajaan siluman ular ya?
Mbah Man      : Ya tidak ada. Kamu kok percaya takhayul.
Joko                : Tapi semua orang kok percaya, Mbah.
Mbah Man      : Ceritanya Paidi itu ngayal semua. Ngawur. Penuh takhayul. Kamu kok percaya.
Datang Mak Yah dengan tergopoh gopoh, nafasnya tersengal-sengal
Mak Yah         : Haduuhh..haduuhh.. piyyee iki mbaahh.. aduhhhh…Joookkk.. ayooo Jok, pokok e kamu harus ikut juga, ayo..
Joko                 : Loh, sek,sek. Ada apa toh Mak?
Mak Yah         : Haduuhhhh, ceritanya nanti saja. Yang penting sekarang berangkat dulu.
Joko                 : Lho?
Mak Yah         : Ojo lah loh lah loh, ayoooo….. (menyeret baju joko)
Mbah Man       : Sek toh, sek. Ini ada apa?  Cerita dulu, diperjelas..
Mak Yah         : Kebonya Pak Lurah lepas gara-gara si Juki, tukang angonnya, minggat. Sekarang kebonya ngacak-acak tegalanku.
Joko                 : Lha, sekarang Juki ke mana?
Mak Yah         : Ya gak tau. Namanya saja minggat. Sudahlah ayo bantu ngepung kebo.
Ketiganya bersama sama meninggalkan panggung. Panggung lengang sejenak. Kemudian Muncul dua orang pemuda berjalan sambil mengendap-endap.
Juki                  :(berbisik)kamu yakin?
Hasan              : Amat sangat yakin dan percaya, sudah ayo, mumpung sepi.
Juki                              : (ragu) tapi.. aku pernah dengar ceritanya Cak Di, kalau orang yang suka mencuri lama-lama bisa jadi tikus.
Hasan              : Lho, kok bisa?
Juki                 : Kan tikus itu suka mencuri.
Hasan              : Sekarang kamu punya ekor apa tidak?
Juki                 : Tidak.
Hasan              : Berarti kamu bukan tikus. Lagi pula kita ini tidak mencuri.
Juki                 : Lha terus?
Hasan              : Kita ini sedang mencari ganjal perut. Kamu lapar kan?
Juki                 : Iya.
Hasan              : Ya sudah. Ayo.
(akhirnya Juki terpengaruh juga, mereka mulai mencuri ikan di kolam samping langgar, muncul Mbok Pairah pulang dari pasar)
Mbok Pairah    : Loh, San,Juk. Kalian sedang apa di sini? Mana Mbah Man?
Juki                              : Anu, itu Mbah Man tadi anu, eh, bu..bukan. Maksudnya ka.. kami.. eee.. kami…
Hasan                          : (menyahut) Kami dititipi untuk membersihkan kolam ikan, iya kan, San? Iya, Mbah Man keluar sebentar katanya, cari kayu mungkin Mbok.   
(Juki bernafas lega)
Mbok Pairah   : Owalahh, ya sudah nanti kalo Mbah Man datang, bilang kalau pisaunya kuambil besok pagi saja.
Hasan              : Siap Mbok.
Mbok Pairah keluar. Hasan dan Juki bernafas lega.
Juki                  : Sudah, San. Aku takut.
Hasan              : Terlanjur basah! Sekalian, ayo! Kurang sedikit.
Juki                  : Tapi nanti kalau ada orang lagi bagaimana?
Hasan              : Tanggung. Kurang sedikit. Ayo!
Hasan dan Juki melanjutkan mengambil ikan dari kolam. Beberapa saat kemudian datang Cak Di sambil bersenandung gembira.
Hasan              : Lho, Cak Di. Dari mana?
Cak Di             : Dodol kursi nang Probolinggo, numpak sapine embok rondo
Aku mari teko kerjo, dadi blantike rojo koyo
Saben dino yo koyok ngono
Ayo kerjo, podo cancut tali wondo
Datang Hansip sambil membawa kue.
Hansip             : Lho, Cak Di! Bagaimana kabarnya?
Cak Di             : Wah, Tik! Baik-baik saja. Dari mana kamu.
Hansip             : Dari jaga parkir di acara syukuran sunatan Pak Mahmud.
Cak Di             : Lho, Pak Mahmud sunat lagi?
Hansip             : Bukan, maksudnya anak Pak Mahmud. Lho sedang apa kalian?
Hasan              : Anu, ini, nguras kolam.
Hansip             : Oh, ya sudah. Yang bersih. Eh, Cak, sampeyan nganggur?
Cak Di             : Iya, ada apa?
Hansip             : Ya ndongeng, toh. Aku sudah lama gak mendengar dongenganmu yang terbaru.
Cak Di            : Waduh, aku capek, Tik. Ini saja aku sengaja mampir di sini biar bisa ngaso.
Hansip             : Ayolah, Cak. Sekali-kali. Jarang-jarang sampeyan nganggur. Iya, kan?
Hasan              : I, iya...
Juki                 : Tapi jangan cerita pencuri, ya?
Cak Di            : Lho, kenapa?
Juki                 : Anu, itu...
Hasan              : Anu, Juki punya trauma dengan pencuri, iya kan?
Juki                 : I, iya.
Cak Di            : Ya sudah. Ini ceritanya bukan tentang pencuri, tapi tentang dua ekor kucing. Bagaimana?
Juki                 : Ya, ya...
Cak Di            : Jadi begini. Dulu, bangsa kucing itu bisa bicara seperti manusia biasa. Mereka adalah teman baik manusia. Setiap hari selalu bersama-sama.
Sutik               : Lho, tapi kenapa sekarang hanya bisa bilang meong?
Cak Di            : Nah, itu gara-gara Si Kucing makan ikan.
Juki                 : Ikan ayam?
Cak Di            : Bukan. Ya ikan yang berenang itu. Seperti yang itu (menunjuk kolam).
Juki                 : Terus bagaimana bisa hanya bilang meong?
Cak Di            : Begini, dulu ada seorang raja sakti yang punya teman dua orang kucing. Nah, singkat cerita, dua orang kucing itu kelaparan. Mereka mau makan, tapi saat itu sedang tidak ada makanan.
Juki                 : Lho, tapi mereka kan teman raja. Kok bisa sampai kelaparan.
Cak Di            : Ya meskipun teman raja, tapi tidak bisa seenaknya makan di istana. Karena di istana tersebut Sang Raja memberikan aturan yang sangat jelas bahwa meskipun keluarga tidak bisa seenaknya memanfaatkan fasilitas istana. Semua fasilitas istana hanya diperuntukkan bagi yang membutuhkan.
Hasan              : Wah, susah ya?
Sutik               : Itu namanya adil. Gak nepotisme.
Cak Di            : Nah, benar itu.
Juki                 : Sebentar, nepotisme itu apa?
Cak Di            : Makanya le, meskipun cuma angon wedus itu ya belajar. Masak nepotisme aja tidak tahu. Nepotisme itu...
Sutik               : Sudah Cak, menjelaskan nepotismenya kapan-kapan saja. Sekarang cerita yang tadi bagaimana?
Cak Di            : Oh, iya. Nah, meskipun dua orang kucing ini adalah teman raja, mereka tidak bisa seenaknya masuk ke dapur istana. Jadi, ketika mereka lapar, mereka harus menunggu jam makan.
                        Nah, suatu ketika, salah satu kucing merasa lapar dan mengajak temannya mencuri ikan di kolam kerajaan.
Juki                 : Tapi yang satu pasti tidak mau diajak mencuri.
Cak Di            : Lho, kok tahu?
Hasan              : Ssst. Jangan sok tahu! Dengar dulu cerita Cak Di. Sudah, Cak, dilanjut saja ceritanya.
Cak Di            : Nah, seperti kata Juki. Ketika kucing kedua diajak mencuri kucing kedua, dia tidak mau. Dia takut pada raja karena Sang Raja punya kesaktian yang sangat tinggi. Tapi, karena kucing pertama ini pandai bicara dan memutarbalikkan fakta, akhirnya kucing kedua pun terbujuk juga. Dan mereka pun mencuri ikan raja. Mereka mengambil ikan di kolam raja satu per satu hingga ikan di kolam tersebut habis.
Hansip             : Sebentar, Cak. Bagaimana caranya kucing mengambil ikan di kolam. Apa pakai jaring?
Cak Di            : Ya enggak lah. Saya sendiri juga nggak tahu caranya, karena belum sempat tanya.
Juki                 : Terus, mereka berhasil nggak?
Cak Di            : Berhasil, tapi pada awalnya. Karena ketika mereka sudah selesai menangkap ikan ternyata raja datang dan menangkap basah mereka. Raja sangat marah sekali. Apalagi yang mencuri adalah temannya sendiri. Akhirnya, raja mengutuk mereka berdua menjadi tidak bisa bicara. Hanya satu kata yang bisa mereka ucapkan.
Juki                 : Apa itu, Cak?
Cak Di            : Meong.
Semua             : Meong?
Cak Di            : Iya, meong.
Hasan dan Juki : Meong?
Hansip             : Oh, jadi itu sebabnya gara-gara mencuri ikan, kucing hanya bisa bilang meong.
Juki                 : Meong, meong.
Hansip             : Apa? Sudah, lanjutkan saja menguras kolamnya.
Juki                 : Meong.
Hasan              : Hei, meong, eh, meong?
Juki                 : Meong.
Hasan dan Juki saling mengeong.
Hansip             : Lho, kalian kenapa?
Juki                 : Meong.
Mbah Man dan Joko datang. Mbah Man basah kuyup.
Joko                 : Sudah, Mbah. Ganti baju dulu.
Mbah Man       : Lho, kalian kok ada di sini?
Juki                 : Meong.
Hansip             : Hei, ditanya orang tua kok meang-meong?
Hasan              : Anu, maaf, itu, meong.
Hansip             : Lho, masih bilang meong?
Cak Di            : Tik, sabar. Jangan main tangan. Mereka ini masih bocah.
Joko                : Lho, Mbah, ikannya kok di ember semua?
Mbah Man      : Lho, siapa yang memindah ke sini?
Hansip             : Mereka. Bukannya mereka njenengan suruh menguras kolam?
Mbah Man      : Tidak.
Hansip             : Jadi kalian berbohong ya? Ayo ngaku!
Hasan              : Ampun! Ampun! Kami tidak berniat mencuri. Ampun.
Mbah Man      : Astaghfirullahhal’adzim. Lahaula walaquwwata illa billah.. (menahan marah).
Hasan              : Ampun ya, Mbah. Mbah, ampun.
Mbah Man      : (berlalu masuk ke dalam langgar berganti pakaian) Astaghfirullahhal’adzim. Anak jaman sekarang, sudah tidak ada lagi yang takut dengan dosa.
Cak Di            : Wah, kualat kalian. Kalau kalian tidak dapat maaf dari Mbah Man, bisa meong-meong sepanjang hidup. Sana, minta maaf.
Hasan              : Takut, Cak.
Juki                 : Meong, meong (menyusul Mbah Man).
Hasan              : Juk, meong, eh, tunggu.
Hansip             : Kok bisa kebetulan cerita sampeyan tadi tentang kucing yang mencuri.
Joko                : Lho, tadi Cak Di cerita apa?
Hansip             : Tadi Cak Di cerita tentang kucing yang bisa, bisa apa Cak?
Cak Di            : Kucing yang bisa bicara seperti manusia biasa. Tapi kemudian hanya bisa mengeong gara-gara mencuri ikan.
Joko                : Lho, kok bisa?
Hansip             : Karena kucingnya dikutuk oleh Raja.
Joko                : Raja siapa?
Hansip             : Raja Namrud! Kamu kok tanya terus?
Joko                : Lho, aku, kan tidak tahu ceritanya.
(Mbah Man keluar bersama Hasan dan Juki)
Hasan dan Juki            : Astaghfirullahhal’adzim (berkali-kali).
Mbah Man       : Terus jangan berhenti.
Hansip             : Lho, kenapa itu.
Mbah Man      : Biar diampuni oleh Allah. Biar gak dibakar di neraka. Ayo, istighfar terus.
Cak Di                         : Wah, kasihan kalian. Sini, kemari. Jangan sampai terbakar di neraka. Tapi kalian tahu tidak, di neraka itu bukan hanya orang-orang berdosa saja yang ada di sana.
Hansip             : Lha, terus, siapa saja?
Cak Di            : Macam-macam, mulai dari garong sampai haji ada di sana.
Hansip             : Haji? Kok ada haji juga?
Joko                : Pasti haji dari hasil korupsi.
Hansip             : Halah, kamu tahu apa tentang korupsi?
Joko                : Ya itu, orang jahat yang kayak di tipi-tipi itu.
Mbah Man      : Ngawur. Neraka itu isinya batu, setan, orang kafir, dan orang-orang yang banyak dosa. Sudah jelas di al-Quran. Tidak ada haji.
Cak Di            : Lho, ada, Mbah. Bahkan kyai juga ada.
Mbah Man      : Lha kok bisa?
Cak Di            : Begini ceritanya. Di akhirat, ketika semua manusia dikumpulkan di padang Mahsyar, ada satu orang bernama Haji Saleh yang sedang menunggu untuk ditanyai oleh malaikat. Dulunya, ketika di dunia, ia adalah orang yang sangat saleh dan rajin beribadah. Setiap hari ia pergi ke masjid, memukul bedug, adzan, dan seterusnya. Ia juga rajin berdzikir dan sholat tahajud.
                        Nah, setelah menunggu bertahun-tahun,
Hansip             : Sebentar, antrinya sampai bertahun-tahun?
Cak Di            : Lho, ya iya. Bayangkan yang antri mulai jamannya Nabi Adam sampai manusia terakhir.
Joko                : Wah, di sana ada warung kopi gak ya? Nunggu antrian bisa sambil ngopi.
Hansip             : Kalau aku mau bawa radio saja. Bisa sambil mendengarkan Kartolo.
Mbah Man      : Hush! Ngawur. Di akhirat tidak ada warung kopi, apalagi radio. Di sana cuma ada surga bagi orang yang taat beribadah dan neraka bagi yang suka mencuri.
Hasan dan Juki            : Astaghfirullahal’adzim....
Cak Di            : Hahaha, yang penting mereka sudah tobat, Mbah.
Hansip             : Terus, Cak. Bagaimana Haji Saleh tadi.
Cak Di            : Nah, ketika sudah di depan Tuhan, Haji Saleh bersujud di depan Tuhan. Kemudian Tuhan mengajukan pertanyaan pertama. “Siapa namamu?”, tanya Tuhan.
                        “Sukri,” jawab Haji Saleh. “Tapi karena sudah pernah pergi haji, namaku berganti menjadi Haji Saleh,” lanjutnya.
Hansip             : Kalau aku nanti pergi sudah pergi haji, namaku akan kuganti, dari Sutik menjadi Sulaiman.
Joko                : Ngimpi! Kamu gak ada potongan bisa naik haji.
Hansip             : Yang penting kan sudah niat.
Cak Di            : Ini ceritanya dilanjutkan atau tidak?
Hansip             : Ya, ya. Maaf, Cak.
Cak Di            : Sampai mana tadi?
Hansip             : Sutik menjadi Haji Sulaiman.
Joko                : Halah! Itu, kan kamu!
Cak Di            : Oh, iya. Sukri menjadi Haji Saleh. Tapi ternyata Tuhan tidak terkesan dengan Sukri yang telah menjadi haji dan berganti nama menjadi Haji Saleh. Kemudian Tuhan mengajukan pertanyaan kedua.
                        “Apa kerjamu di dunia?” tanya Tuhan.
                        “Setelah menjadi haji, saya meninggalkan kekayaan dan keluarga saya. Saya kemudian menjadi takmir masjid dan tidak pernah minta dibayar,” jawab Haji Saleh.
                        “Terus?” Tanya Tuhan.
                        “Saya setiap hari memukul bedug dan adzan di masjid.”
                        “Terus?” Tanya Tuhan.
                        “Setiap hari saya selalu wiridan dan sholat tahajud.”
                        “Terus?”
                        “Ya, itu sudah semua, ya Tuhan. Saya setiap hari adzan, wiridan, sujud, dan, ya semua ibadah yang bisa hamba lakukan Tuhan.”
                        “Terus? Hanya itu?” Tanya Tuhan.
                        Nah, Haji Saleh bingung tidak karuan, karena yang dikerjakannya setiap hari hanya itu.
Mbah Man      : Terus? Apa yang salah?
Cak Di            : Nah, itu dia. Haji Saleh juga bingung. Padahal yang dikerjakannya benar semua menurutnya. Tapi kenapa Tuhan masih belum puas dengan jawaban Haji Saleh. Nah, akhirnya, karena Haji Saleh tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, Tuhan pun memasukkannya ke neraka.
Hansip             : Lho, kok masuk neraka?
Joko                : Iya, Cak. Haji kok masuk neraka?
Hasan dan Juki            : Astaghfirullahal’adzim...
Mbah Man      : Cerita ngawur. Orang rajin ibadah, haji pula, kok masuk neraka.
Cak Di            : Nah, itu juga yang menjadi pertanyaan Haji Saleh. Bahkan ketika masuk neraka, ia semakin heran karena banyak sekali orang-orang yang dulunya ia kenal sebagai orang ‘alim, tapi malah masuk neraka.
Mbah Man      : Sudah, cerita ngawur seperti itu tidak perlu diteruskan. Masak orang alim juga masuk neraka.
Hansip             : Sebentar, Mbah. Tanggung.
Joko                : Iya, Mbah. Penasaran, nih. Terus, bagaimana kelanjutannya?
Cak Di            : Setelah masuk neraka, Haji Saleh semakin bingung karena di sana ternyata juga banyak orang alim. Yang paling banyak adalah orang alim yang senegara dengan dia. Kemudian dia menemui mereka dan berembug dengan mereka. Mungkin saja Tuhan salah dengan keputusannya.
Mbah Man      : Tuhan tidak pernah salah. Ceritanya itu yang salah.
Cak Di            : Saya kira dulu juga begitu, Mbah. Tapi ternyata tidak. Setelah berembug dengan semua penghuni neraka yang dulunya ahli ibadah, akhirnya mereka sepakat untuk demo kepada Tuhan.
Joko                : Demo? Kayak yang di tipi-tipi itu?
Cak Di            : Iya, ya kayak yang di tipi-tipi itu. Tapi gak pake bakar ban, karena di akhirat tidak ada ban. Setelah menghadap, mereka ditanya tentang apa maunya. Haji Saleh yang dipilih sebagai juru bicara, maju dan mulai berpidato.
                        “Ya Tuhan kami. Kami yang menghadap kepadamu ini adalah para hambamu yang taat beribadah dan taat menyembah-Mu. Kami tahu jikalau Engkau Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Bijaksana. Kami yakin bahwa Engkau tidak pernahg salah maupun ingkar janji.”
                        “Lalu, apa mau kalian?” Tanya Tuhan.
                        “Kami kemari hendak menuntut agar kami dimasukkan ke dalam surga. Karena selama hidup di dunia, kami sudah banyak beribadah kepada-Mu.”
                        Kemudian Tuhan bertanya, “Kalian berasal dari mana?”
                        “Kami dari Indonesia,” jawab Haji Saleh.
                        “Oh, negeri yang subur itu?”
                        “Benar, Tuhanku.”
                        “Negeri yang konon tongkat dan batu saja bisa menjadi tanaman?”
                        “Iya, Tuhanku.”
                        “Negeri yang penuh dengan hasil tambang, hasil alam, dan lautan?”
                        “Tepat sekali, Tuhanku.” Jawab Haji Saleh dengan gembira. Semua teman-temannya juga sudah mulai gembira karena sepertinya Tuhan sudah salah memasukkan mereka ke neraka. Kemudian Tuhan bertanya lagi.
                        “Apakah negeri kalian juga lama dijajah bangsa asing?”
                        “Iya, Tuhanku. Bahkan ketika sudah merdeka pun, kami masih dijajah secara ekonomi dan teknologi.”
                        “Dan kalian hanya diam saja?”
                        “Anu, kami sudah berusaha semampu kami...”
                        “Dengan apa?”
                        “Anu, dengan, dengan berdzikir dan berdoa kepada-Mu.”
                        “Berdzikir dan berdoa saja?” tanya Tuhan.
                        “Anu, Tuhanku, kami semua tidak peduli dengan harta benda kami. Kami semua sudah meniggalkan dunia. Yang kami pentingkan adalah dzikir dan doa kepada-Mu.”
                        “Tapi anak cucumu terlantar. Rakyat di negerimu menderita dan kalian diam saja. Kalian lebih memilih berdzikir dan berdoa tanpa bekerja, karena berdzikir dan berdoa tidak mengeluarkan keringat dan tenaga, iya kan?”
Hansip             : Terus apa jawab Haji Saleh, Cak?
Cak Di            : Haji Saleh diam saja karena semua yang dikatakan Tuhan memang benar. Dia hanya beribadah dengan tujuan agar tidak perlu bekerja.
Mbah Man      : Lalu apa yang salah dengan ibadahnya, hah? Apa yang salah?
Cak Di            : Ya tidak tahu, Mbah. Dalam cerita itu, Tuhan memang tidak menerima ibadah Haji Saleh.
Joko                : Terus, Haji Saleh?
Cak Di            : Ya otomatis. Kalau Tuhan sudah tidak menerima ibadahnya Haji Saleh, ya akhirnya dia masuk neraka.
Mbah Man      : Ngawur. Ceritamu dari awal ngawur. Semua cerita-ceritamu dari dulu ngawur. Khayal.
Cak Di            : Tapi itu, kan cuma cerita, Mbah.
Mbah Man      : Kalau mau cerita itu yang benar. Jangan mengada-ada. Jangan mengarang.
Hansip             : Tapi cerita Cak Di ada benarnya juga, Mbah.
Mbah Man      : Benar bagaimana? Kalau mau mendengar cerita yang benar itu dari kyai, ustadz, atau guru ngaji. Ceritanya blantik saja dipercaya.
Cak Di            : Kalau tidak percaya ya sudah, Mbah. Tidak apa-apa. Kan, hanya sekedar cerita.
Mbah Man      : Kalau mau cerita ngawur jangan di sini. Di tempat lain saja! Ini langgar! Tempat ibadah. Bukan tempat ngrumpi.
Cak Di            : Maaf, Mbah.
Mbah Man      : Pergi! Pergi semua!
Cak Di            : Maaf, Mbah. Anu, tadi saya mau nitip ini (menyerahkan pisau cukur). Tolong diasah ya? (meletakkan di samping Mbah Man).
                        Maaf, ya, Mbah.
(Semua keluar. Mbah Man hanya duduk termenung sambil beristighfar. Lampu fade out. Musik mengalun syahdu. Lampu fade in. Mbah Man duduk bersimpuh di dalam surau sambil terisak-isak.)
Mbah Man      : Ya Allah. Apa dosaku selama ini? Apakah salah yang telah kukerjakan selama ini?
                        Selama ini tidak pernah terpikir olehku untuk mencari harta, maupun berkeluarga. Semua hidupku kulakukan untuk ibadah kepadamu. Tapi mengapa ada yang bilang bahwa nanti Engkau tidak menerimanya?
                        Ya Allah. Apa artinya hidupku ini jika Engkau tidak menerima semua hidupku? Apa yang harus aku lakukan jika pada akhirnya aku masuk neraka?
Dalam keadaan menangis, Mbah Man tanpa sadar memegang pisau cukur milik Cak Di. Ia menatapnya agak lama.
Mbah Man      : Ya Allah. Jika pada akhirnya aku harus masuk neraka, maka aku harus masuk neraka karena dosa, bukan karena ibadahku. Jika aku memang akan masuk neraka, maka harus karena dosa.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Mbah Man, dengan berat hati dan berlinang air mata, menusukkan pisau cukur tersebut ke lehernya. Lampu memerah. Musik mengalun antara syahdu dan seram. Kemudian lampu padam dan semua hening.
Terdengar suara kokok ayam jago pertanda pagi hari. Lampu fade in. Masuk Mbok Pairah.
Mbok Pairah   : Mbah, Mbah Man. Di mana, Mbah Man? Pisauku sudah diasah apa belum ya? Mbah. (masuk ke dalam langgar. Terdengar jeritan dari dalam.)
Mbok Pairah   : Tolong, tolong. Ada mayat. Ada mayat.
Musik mengentak. Lampu fade out. Penonton bertepuk tangan.






--Tamat--

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...