A.
PENDAHULUAN
Berbicara masalah sufi, atau
khususnya tentang sastranya, kita tidak dapat melepaskan selubung yang
melingkarinya yaitu tasawuf. Karena dalam sejarah tasawuf, sastra telah
dipilih sebagai media di dalam menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi
sejak awal, makanya sastra sufi belakangan ini banyak menyita perhatian
komunitas peminat sastra. Sebenarnya latar belakang kemunculan konsep sastra
sufi ialah gagasan tentang keserupaan antara manusia (microcosmos) dengan
alam semesta (macrocosmos). Keserupaan tersebut digambarkan dalam
istilah-istilah lahirah (cosmologic) dan batiniah (ontologic) dan
menyatakan diri secara menyeluruh.
Perdebatan yang terjadi tidak
berkutat pada persoalan materinya atau mengguggat eksistensi sastra sufi itu
sendiri, melainkan juga munculnya pertanyaan apakah ada bedanya antara genre
sastra umum (khususnya sastra timur) dengan genre sastra sufi, bahkan juga
merambah pada wilayah metodologi yang mempertanyakan kemungkinan kajian khusus
yang secara spesifik mengurai dan memintal kembali genre sastra tersebut.
Sehingga sastra sufi bukan sekedar sebuah klaim, akan tetapi memang benar-benar
dapat dijelaskan secara metodologis. Tulisan ini berupaya membuka jalan ke arah
sana meskipun secara metodologi juga masih bersifat pencarian awal.
B.
TASAWUF
DAN SASTRA
Ada banyak pengertian tasawuf yang
dikemukakan oleh para ahli tergantung dari mana mereka melihatnya. Ada yang
melihat tasawuf dari aspek teologis, ada yang dari aspek praktis, dan ada pula
yang melihat tasawuf dari aspek filosofisnya. Dalam kaitannya dengan makalah
ini, saya lebih cenderung mengikuti definisi tasawuf yang dirumuskan oleh Abdul
Karim al-khatib1
"Tasawuf adalah bukan semata merupakan keyakinan keagamaan tetapi
merupakan sistem kehidupan dan tatanan seutuhnya bagi wujud manusia, disamping
ia juga merupakan metode berfikir".
Definisi di atas memiliki pengertian
sangat luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan sufi. Baik yang berkenaan
dengan tatacara kehidupannya dimana dalam hal ini adalah kehidupan ritual
maupun kehidupan sosiologisnya, juga kehidupan intelektualnya baik yang terkait
cara pandang mereka maupun konsep-konsepnya, terutama yang berkaitan dengan
masalah keberagamaan.
Sastra dalam dunia tasawuf telah
dipilih sebagai media penyampaian pengalaman keruhanian para sufi sejak awal.
Terdapat banyak penjelasan tentang pengalaman mereka yang berkenaan dengan
makrifat dan persatuan mistik disampaikan dalam bentuk anekdot-anekdot, kisah
perumpamaan atau alegori dan puisi. Walaupun sastra, khususnya puisi, sangat
mempengaruhi corak kegiatan intelektual para sufi, tetapi kebanyakan dari
mereka menulis tanpa niat menjadi sastrawan atau penyair. Mereka menulis
berlandaskan alasan-alasan keagamaan dan keruhanian, yaitu menyampaikan hikmah
dan mendapat berkat. Sebagai pencinta keindahan sejati mereka yakin bahwa
karya seni yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang telah tidur di
dalam hati, baik cinta yang bersifat duniawi dan inderawi maupun yang bersifat
ketuhanan dan ruhaniah.
Tradisi golongan sufi menjadi
penggemar dan pecinta seni tampak di dalam amalan sama' (audicy)
yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama'
adalah sejenis konser musik keruhanian disertai dzikir, tarian-tarian,
pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak
abad ke-10 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai
upacara sama' membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media
yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang
mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila
para pengkaji seperti Smith, Schimmel, Chittick melihat bahwa ajaran paling
murni dan tipikal tentang tasawuf
kebanyakan ditulis dalam bentuk sastra atau puisi.
Sastra menurut Hossein Nasr juga
menjadi kian penting untuk memahami hubungan antara seni dan spiritualitas
islam. Karena ajaran islam berdasarkan pada firman Tuhan yang diwahyukan
sebagai kitab suci dan mengandung gaya bahasa, maka sastra juga dapat dikatakan
sebagai manifestasi turunan dari gaya bahasa wahyu yang dibuat oleh manusia
sebagai ekspresi rasa, sentuhan nurani dalam upaya mengetuk pintu batin untuk
mengingat Tuhan.
Seyyed Hossein Nasr menghubungkan
kecenderungan ini dengan pemahaman khusus para sufi terhadap hakikat ajaran
islam : "Islam sendiri benar-benar menganggap aspek ketuhanan sebagai
keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang
secara alami berasal dan mengandung inti (haqa'iq) ajaran islam. Maka bukanlah
suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para sufi, baik puisi maupun
prosa, merupakan karya agung dalam kualitas keindahan". Karena menurut
beliau dalam islam tradisional, sastra yang dipandang ideal adalah sastra yang
di dalam dirinya memadukan estetika, metafisika dan logika. Dengan demikian ia
bukan saja memberikan keindahan, tapi juga kebenaran, serta spiritualitas.
Aspek Ketuhanan sebagai keindahan
inilah yang dipandang sebagai aspek mistikal atau dimensi esoterik dari Islam,
dan yang juga dipandang sebagai aspek islam yang paling indah. Makanya Schimmel
mengaitkan penekanan terhadap aspek mistikal ini, dalam penghayatan para sufi
terhadap ajaran islam, dengan penciptaan puisi yang berlimpah jumlahnya dalam
pelbagai bahasa masyarakat muslim. Khazanah sastra sufistik yang kaya itulah yang
mengilhami banyak gagasan mengenai ciri-ciri mistikisme islam kepada
Barat.
Jikalau boleh meminjam pendapat
Schimmel, secara etimologi kata 'mistik'
atau 'mystic' berasal dari bahasa Yunani myein, dan ada kaitannya
dengan 'mysteri', serta bermakna 'menutup mata' atau 'terlindung di dalam
rahasia'. Dalam pengertian yang benar tersirat adanya suasana kekudusan dan
kekhusyukan dalam upaya menangkap rahasia Yang Maha Agung melalui disiplin
spiritual yang keras dan sungguh-sungguh. Dan apabila tasawuf dapat disebut
'mistisisme Islam' tentulah ia boleh diberi makna sebagai ajaran keruhanian
penuh suasana kekudusan dan kekhusyukan berkenaan 'menutup mata' atau' sesuatu
yang terlindung dalam rahasia'.
Menutup mata terhadap alam fenomena
menyebabkan seseorang sufi memiliki penglihatan ruhani yang terang dan hidup,
dan dengan demikian dapat menyaksikan rahasia terdalam (haqa'iq) ajaran
agama. Haqa'iq bermakna 'yang inti', 'yang hakiki', 'yang di dalam',
yakni kenyataan atau hakekat ajaran agama, yang dalam islam tiada lain kecuali
tauhid. Tasawuf yang sejati memang hanya membicarakan perkara-perkara haqa'iq
dari agama. Sebagai jalan keruhanian tasawuf mengkhususkan pada syuhud,
yakni penyaksian kalbu, walaupun tidak menafikan peranan penting akal dalam
mencapai pengetahuan. Mengenai yang haqa'iq Rumi menulis :
Jika
rahasia ma'rifat hendak kau capai
Buanglah
huruf, ambil makna
Yang haqa'iq disebut pula ma'na
yakni sesuatu ada di dalam. Dalam mencapai 'sesuatu yang ada di dalam', yaitu
'rahasia ma'rifat' seseorang mesti ke dalam inti huruf, menjelajah ke balik
bentuk lahir, menyaksikan inti aturan formal agama (syari'at) dari sebelah
dalam. Penyelaman semacam ini tidak dapat dilakukan secara inderawi dan
rasional, akan tetapi harus secara intuitif.
C.
SASTRA SUFISTIK
Sastra sufistik adalah sastra
transendental karena pengalaman mistik yang diungkapkan memang merupakan
pengalaman yang berkaitan dengan kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak
berarti bahwa sastra sufistik mengabaikan dimensi sosial kehidupan. Sebagai
sastra transendental ia mengutamakan 'makna' bukan 'bentuk', mementingkan 'yang
spiritual' bukan 'yang empiris', 'yang di dalam' bukan 'yang di permukaan'.2
Pengutamaan 'makna' di atas 'bentuk', 'yang spiritual' di atas 'yang empiris'
dalam karya-karya transendental ini searah dengan tujuan tasawuf itu sendiri.
Makanya, dengan mengetahui makna tasawuf, walaupun secara ringkas dan terbatas,
maka sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufistik sebab kandungan sastra
sufistik tiada lain ialah tasawuf.
Karya-karya sufistik tidak lain
adalah karangan para penulis sufi berkenaan dengan peringkat-peringkat dan keadaan-keadaan
ruhani yang mereka capai. Setiap penulis sufi memberikan gambaran dan tanggapan
yang berbeda-beda mengenai peringkat-peringkat dan keadaan-keadaan ruhani yang
mereka alami itu.
Para sufi menyampaikan
pengalaman-pengalaman keruhanian penuh makna dan menggunakan bahasa simbolik
puisi, para sufi berharap supaya pembacanya memperoleh pula pencerahan dan
hikmah sebagaimana yang telah mereka peroleh. Landasan islam sastra sufistik
juga sangat jelas. Mereka mengekspresikan pengalaman estetik transendental yang
berhubungan erat dengan tauhid, penyaksian bahwa Tuhan itu satu, atau dengan
perkataaan lain Tuhan sajalah sebenarnya Yang Ada dan yang selain-Nya secara
hakiki tiada. Rujukan penghayatan mereka adalah al-Qur'an dan Hadis. Karena
sastra sufistik merupaka ekspresi dari pengalaman kesufian, maka tidak
mengherankan apabila sastra sufistik mengungkapkan renungan dan falsafah hidup
yang bertujuan meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia dengan Kenyataan
Tertinggi.
Di Jawa sastra sufistik disebut sastra
suluk dan penamaan ini tepat, sebab pada umumnya puisi-puisi sufistik
memang mengungkapkan pandangan hidup orang yang mengamalkan ilmu suluk, atau
nama lain untuk tasawuf. Contohnya seperti suluk Wijil, suluk Regol dan suluk
Kalipah Asmara yang oleh Sunan Bonang dapat dikemukakan sebagai contoh yang
tepat. Suluk Wijil umapamanya mengungkapkan ajaran dan pengalaman
keruhanian Sunan Bonang yang telah mengamalkan ilmu suluk atau jalan makrifat.
Tujuan perjalanan itu dikemukakan antara lain supaya seorang salik
mengenal diri sejati atau diri universalnya dengan melakukan penyucian diri.
Dengan mengenal dirinya seorang salik akan mengenal Tuhannya pula.
Para sufi meyakini bahwa dalam
mencapai Yang Satu seseorang tidak dapat melakukannya dengan usaha intelektual
semata dan tidak pula dengan perasaan rindu berlebihan. Ia mesti dicapai
melalui proses kejiwaan dan keruhanian yang rumit. Proses keruhanian yang rumit
tersebut mencakup penciptaan awal pribadi secara lengkap dan pembebasan yang
berhubungan dengan tercapainya bentuk-bentuk kesadaran baru, yaitu kesadaran
transendental atau persatuan mistik, yang lebih tepat disebut Unitive state.
Menurut Nasr, dalam sastra sufistik
ataupun puisi, harus dibedakan antara bentuk bahasa (shurah) dengan
makna (ma'na). Bahasa merupakan bentuk eksternal dan makna merupakan
substansi dari suatu sastra atau puisi. Sastra atau puisi yang dapat
mengekspresikan nilai spiritual apabila keluar dari seseorang yang batinnya
sedang bergejolak karena kerinduan kepada Sang Pencipta. Hasil renungan
kontemplatif memungkinkan adanya kristalisasi antara pengalaman batin dan
pencarian spiritual sebagai manifestasi dari upayanya membangkitkan dzikir dan
tafakur tentang Tuhan. Ungkapan bahasa semacam ini akan dapat menentramkan
batin seseorang dan merasa akan kehadiran Tuhan dalam jiwanya.
Makanya, sastra sufistik memberikan
amanat kepada pembacanya untuk melakukan pendakian spiritual menuju Diri yang
sejati di alam tinggi atau atas. Baharuddin Ahmad mengatakan, "
Kesusastraan Sufi adalah tipe yang memanjangkan Hakekat Kebenaran dan Keindahan
yang digambarkan secara rinci dalam pernyataan fenomena sifat, tabiat dan
realitas alam rendah dan hubungannya dengan realitas Sejati".3
Karena jika dilihat dari sudut pandang ini sastra sufistik merupakan ekspresi
estetik yang berkenaan dengan zikir dan pikir, yaitu mengingat dan memikirkan
Allah Swt. Allah dengan segala keagungan dan keindahan-Nya menjadi tumpuan utama
renungan penyair-penyair sufi. Zikir sebagai ikhtiar keruhanian merupakan
tangga naik menuju alam transendental, suatu alam yang disebut alam malakut
dan alam lahut oleh para sufi. Sama seperti pengertian yang dikandung
oleh perkataan zikir tersebut, puisi sufistik ditulis untuk membawa pembaca
melakukan kenaikan, pendakian atau mi'raj ke alam malakut dengan segala
kesempurnaanya.
D.
ESTETIKA
SUFI
Puisi merupakan media ekspresi yang
sangat penting bagi sufi dalam menyampaikan pengalaman cinta transendental
mereka. Para sufi yakin bahwa keindahan sebuah puisi yang dalam memiliki
kekuatan yang dapat membawa seseorang menuju alam hakekat dan bersatu dengan-Nya.
Karena itu, jika boleh meminjam interpretasi Jami tentang puisi adalah kias
tentang alam keabadian, dan kandungannya berupa hikmah yang dipetik di Taman
Mawar Ilahi. Hikmah, sebagai salah satu bentuk dari keindahan spiritual
tertinggi, yang dapat dicapai oleh seorang penyair, terkait dengan keindahan
dan kebenaran Ilahi.
Sebenarnya pandangan estetik sufi
juga dapat disingkap melalui simbol atau misal, perumpamaan atau tamsil,
analogi atau kias dan metafor yang mereka gunakan dalam puisi-puisi maupun
risalah-risalah mereka dalam menggambarkan hubungan keindahan Yang satu dengan
keindahan objek yang bermacam-macam di alam syahadah.
Dalam sastra sufistik yang puisi
menjadi obyek kajian atau penyaluran akhir ketika seorang sufi sudah mencapai
klimaknya dalam pencapaian ke atas atau kedunia transendental, disinilah
keindahan (estetika) dari sebuah puisi yang mana keindahan tersebut
tidak hanya dapat dilihat dan dirasakan saja, akan tetapi ada prosesnya yang
menjadikan puisi tersebut dapat dipahami dan benar-benar dirasakan
keindahannya, antara lain adalah :
1.
Puisi merupakan
jalan tempat berpindah ke alam keabadian atau transendental. Dan di sini puisi
berfungsi sebagai media transendensi atau kenaikan (mi'raj) menuju hakekat
segala hakekat.
2.
Puisi yang
indah ditulis setelah penyair melakukan penyucian diri, yakni membetulkan
iktikad, hingga cermin penglihatan batinnya menjadi terang.
3.
Puisi merupakan
proyeksi zikir maka sesungguhnya puisi juga adalah ekspresi dari nilai-nilai
tauhid dan buah dari makrifat. Karena makrifat mengandung aspek kognitif, bukan
semata-mata perasaan, maka apabila para sufi membicarakan keindahan yang
dimaksud ialah keindahan yang berkaitan dengan kebenaran universal dan hakiki.
4.
Penyair
menyatakan bahwa keindahan wajah Tuhan dan hakekat tauhid dapat disaksikan di
'medan yang qadim'.
5.
Penyair
mengharapkan pembaca berusaha menjadikan puisi yang sedang dibacanya sebagai
tangga naik menuju dirinya yang sejati.
Seorang sufi tidak dapat mengabaikan
keindahan objek-objek di alam syahadah sebab mereka merupakan sebagian
dari tajalli-Nya dan objek-objek tersebut disebut sebagai ayat-ayat-Nya.
Karena objek-objek itu merupakan ayat-ayat-Nya maka perenungan terhadap keindahan-keindahan
di alam syahadah dapat dijadikan tangga awal untuk naik ke arah
perenungan akan keindahan-Nya yang hakiki.
Karena itu jelaslah bahwa
penyair-penyair sufi menggunakan pendekatan empiris dan rasional serta
pendekatan intuitif, yakni cinta (isyq), dalam melihat realitas dan juga
dalam proses kreatif penulisan puisi mereka. Pendekatan intuitif digunakan
untuk dapat menyingkap keindahan hakiki atau hikmah yang tersembunyi dalam teks
kalbu, alam semesta dan kalam ilahi (al-Qur'an). Kalau boleh meminjam kata
Jurjani (Ahli Sastra Arab abad ke-11), menyatakan bahwa 'Nazhm
(komposisi puitik) merupakan suatu konstruksi mental yang disusun secara
komplek dalam bentuk bahasa figuratif (majaz) atau menggunakan tamsil
yang menggerakkan akal maupun hati pembaca.
Al-Jili membagi keindahan sebuah
puisi menjadi dua, yaitu keindahan luar (husn) dan keindahan dalam (jamal).
Terdapat perbedaan besar antara kedua keindahan ini, walaupun keduanya saling
memerlukan. Keindahan luar atau bentuk memang mempunyai daya paksa yang kuat,
yang disebut sihir oleh al-Jilli. Walaupun memukau keindahan luar terbatas dan
bersifat khusus (particular). Keindahan batin yang di dalam (jamal)
kebalikannya adalah tidak terbatas dan universal. Kekuatan jamal terletak
pada kandungan hikmahnya, yaitu pengetahuan tentang hakikat kehidupan. Dalam
puisi hikmah berfungsi memperkaya batin pembaca. Karena sifatnya yang tak
terbatas dan universal, serta memperkaya batin itulah para penulis sufi lebih
mengutamakan jamal dibandingkan dengan husn, tanpa mengecilkan
peranan husn. Dalam puisi keindahan batin melahirkan makna.
Maknalah yang merupakan struktur batin puisi. Sedang keindahan luar melahirkan shurah,
yaitu bentuk yang ada di luarnya atau struktur fisik sebuah puisi.
Sebenarnya keindahan dalam manusia
ialah kekuatan spiritualnya, dan keindahan sebuah puisi adalah hikmahnya.
Makanya seni islam merupakan seni kontemplatif, yaitu seni yang dicipta sebagai
sarana perenungan atau musyahadah..
E.
SEMIOTIKA
SUFI
Tidak perlu dikatakan lagi bahwa simbol
merupakan unsur yang sangat penting dalam pengucapan atau penuturan tidak
langsung sepeti puisi. Sebagaimana telah diketahui, dalam teorinya, al-Jurjani
mengaitkan simbol dengan terbentuknya struktur puisi yang komplek, penuh nuansa
dan makna. Banyak penyair modern, bukan hanya penyair-penyair yang beraliran
simbolisme, menganggap bahwa puisi tidak akan berjiwa dan dapat menggerakkan
hati, pikiran dan imajinasi pembaca jika hanya terdiri dari metafor. Puisi akan
berjiwa dan memiliki ruh jika di dalamnya terdapat simbol-simbol yang sarat
dengan makna di samping menerbitkan imajinasi. Dalam tradisi sastra Cina,
umpamanya, penggunaan simbol dikaitkan dengan usaha seorang penyair melakukan
ekonomisasi makna. Dengan bahasa puitiknya yang simbolik seorang penyair yang
baik dapat menyatakan gagasan, pikiran dan perasaannya seluas mungkin melalui
ungkapan yang ringkas dan padat.
Perkataan 'simbol' berasal dari
bahasa Yunani symballein, yang berarti 'melontarkan bersama'.
Berdasarkan arti kata asalnya ini Gadamer mengatakan bahwa simbol merupakan
"sesuatu yang memudahkan pengenalan" (as something that
facilitates recognition). Simbol merupakan suatu pola yang mengandung
kenyataan yang tidak terlihat (invisible reality) yang hanya dapat
ditangkap dengan penglihatan batin. Karena contoh gambar dari alam syahadah
digunakan dalam menyatakan realitas yang tidak terlihat, maka dalam simbol dua
kenyataan yang berbeda, yaitu kenyataan dalam dan kenyataan luar, disatukan.
Dalam tradisi sufi penggunaan simbol
berhubungan dengan tradisi esoterik mereka yang menekankan pentingnya makna
dalam. Lebih jauh penyair-penyair sufi memandang bahwa puisi merupakan
simbol-simbol dari kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Sebagaimana dalam
tradisi besar sastra dunia yang lain, simbol-simbol atau citra-citra simbolik
yang terdapat di dalam khazanah sastra sufi memilki sejarah, latar belakang dan
akar tersendiri yang khusus, yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar belakang
budaya di mana tasawuf mula-mula tumbuh dan berkembang selain diambil dari
al-Qur'an, Hadist Nabi dan sejarah islam, simbol-simbol dalam puisi sufistik
juga diambil dan dimodifikasi dari tradisi lokal. Seorang ahli sufi yang
terkenal pada abad ke-11 al-Qushairy di dalam kitabnya Risalah
mengatakan bahwa lahirnya simbol-simbol di dalam tasawuf, dan penggunaannya
dalam pengucapan puisi sufi, berhubungan erat dengan tradisi esoterik mereka.
Penggunaan simbol dimaksud agar gagasan esoterik mereka terlindung dari
pengetahuan golongan masyarakat yang tidak sepaham dengan pemikiran mereka.
Di dalam kitab al-Luma',
al-Tusi mengatakan bahwa simbol-simbol adalah pengertian samar yang tersembunyi
di balik ungkapan-ungkapan lahir, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang
menguasainya. Menurut al-Tusi, dalam simbol, terdapat dua jenis makna : (1)
makna lahir dari kata-kata yaitu arti harfiahnya; (2) makna keruhanian yang
tersembunyi yang memerlukan telaah dan kajian mendalam. Cara menangkap makna
tersembunyi itu ialah dengan menelaahnya menurut metode ta'wil atau tafsir
keruhanian. Abu al-Wafa al-Taftazani, mengatakan bahwa pada dasarnya penggunaan
simbol untuk mengungkapkan kenyataan dan pengalaman keruhanian seorang ahli
sufi, yang menjadi ciri dari sufi-sufi abad ke-10 dan sesudahnya, timbul dari
usaha untuk mengalihkan pengalaman kejiwaan mereka yang luar biasa kepada orang
lain dengan bahasa yang dapat diindra, yaitu bahasa figuratif (majaz)
puisi. Simbol-simbol dalam puisi para sufi hendaknya tidak dipandang sebagai
kata-kata biasa, karena setiap simbol memiliki titik pendakian ke arah
pengertian luas (mathla'). Simbol-simbol tersebut menunjukkan pengartian
yang dicipta dalam keadaan jiwa yang dinamis atau bergelora dan menggambarkan
secara hidup kecenderungan perasaan, pikiran dan kalbu seorang sufi yang
dilimpahi gairah ketuhanan.
Menurut Rumi, puisi mesti berusaha
menyingkap keindahan hakiki dan aspek-aspek dari keindahan hakiki tersebut.
Melalui simbol barulah keindahan yang hakiki dan aspek-aspeknya dapat
diekspresikan dengan baik. Menurut Rumi, orang biasa tidak dapat memasuki api
ketuhanan tanpa perantara, tamsil, kias dan misal dapat membantu mereka
merasakan alangkah panasnya api bagi orang yang berada di dekat api.
Sebenarnya ada beberap alasan
mengapa penyair-penyair sufi menggunakan citra-citra simbolik yang esoterik. Pertama,
dengan menggunakan citra-citra simbolik yang erotik mereka dapat memberi
ungkapan puitik halus dan penuh nuansa estetik tentang Keesaan Tuhan; Kedua,
citra-citra simbolik dan metafora-metafora yang demikian mudah meresap ke
dalam hati pembaca dan meninggalkan kesan yang dalam dibandingkan dengan
menggunakan istilah-istilah falsafah, sebab sifat-sifat dan keagungan Tuhan
dapat tergambar secara langsung; Ketiga, dengan menggunakan citra-citra
simbolik erotik para sufi dapat melindungi rahasia perjalanan ruhani mereka
dari pengetahuan orang biasa dan dengan demikian hanya golongan muntahi
dan arif saja dapat mengetahui maknanya.
Para sufi telah menggunakan
simbol-simbol sejak abad ke-9 M. Mereka menyebut simbol seperti itu dengan
istilah al-majaz qantharat al-haqiqah, yaitu perumpamaan dengan
menggunakan gambaran cinta manusia sebagai jembatan menuju Hakekat Ketuhanan.
Di dalam mukadimah Masnawi, Rumi telah mengisyaratkan bahwa adalah lebih
baik tidak menyampaikan rahasia cinta dalam bentuk kisah tentang orang lain,
dengan menyembunyikan kebenaran dalam simbol-simbol puitik. Sebenarnya di dalam
simbol-lah letak dari pada hakikat makna dari sebuah puisi sufistik
khususnya.
F.
HERMENEUTIKA
SUFI
Penyair-penyair sufi tidak pernah
mengesampingkan atau mengabaikan ajaran eksoterik islam, walaupun menekankan
pada ajaran esoteriknya. Di dalam puisi-puisi mereka tersimpul gambaran dunia yang
disusun berdasarkan tafsir sufistik ayat-ayat al-Qur'an, dengan memperhatikan
berbagai kaitan dan dimensi maknanya, secara luas dan mendalam. Dengan
ungkapan-ungkapan dan citra-citra simboliknya yang penuh pesona dan hidup,
serta kandungan keruhaniannya yang kaya, puisi-puisi tersebut sukar diapresiasi
apabila seorang peneliti melupakan hakekat dan aspek-aspeknya yang utama. Untuk
menyelami dan mendedahkan kandungan keruhaniannya diperlukan metode yang sesuai
dengan prinsip-prinsip estetika mereka. Hermeneutika keruhanian, yang terdapat
dalam tradisi intelektual islam dan disebut ta'wil, merupakan satu metode yang
sesuai dalam menjelajah dunia puisi sufistik.
Seperti hermeneutik klasik dalam
tradisi Barat, ta'wil di dalam tradisi islam tumbuh dari latar belakang
pemikiran yang memandang bahwa bahasa merupakan wadah makna dan kesadaran bahwa
semua teks keagamaan atau keruhaniaan memiliki makna batin yang tersembunyi di
balik ungkapan lahir. Dalam sejarah tasawuf, tradisi ta'wil bermula dari
ikhtiar orang arif untuk memahami al-Qur'an secara lebih dalam. Menurut mereka,
ayat-ayat al-Qur'an dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis dan untuk
tiap-tiap jenis diperlukan metode penafsiran atau ilmu tafsir, pada awalnya
ta'wil dirintis oleh Ja'far al-Shadiq pada abad ke-8 dan kemudian dikembangkan
oleh tokoh-tokoh hermeneutika seperti Sulami, Ibn Arabi, al-Ghazali, Rumi dan
lain-lain. Dan di alam Melayu Nusantara metode ini mula-mula dikenal pada abad
ke-16 dan 17, dan terdapat di dalam risalah-risalah tasawuf Sunan Bonang,
Hamzah Fansuri dan Syams al-Din Pasay.
Kesesuaian metode ta'wil atau
hermeneutika terlihat pada prinsip-prinsip falsafah yang mendasarinya.
Ahli-ahli hermeneutika, seperti para sufi, berpendapat bahwa bahasa, sebagai
sarana komunikasi dan ekspresi manusiawi, merupakan wadah makna (the locus
of meaning). Di dalam karangan sastra seperti puisi, yang strukturnya
komplek dan penuh nuansa, makna luar (eksoterik) hanyalah pembayang bagi
makna dalam (esoterik). Tujuan ta'wil ialah mencapai makna dalam dengan
melintasi makna luar. Untuk memahami makna teks sastra seperti puisi diperlukan
dua macam tafsir, yaitu tafsir formal yang lazim disebut tafsir eksoterik dan
tafsir keruhanian (spiritual hermeneutics).
Hermenutika keruhanian atau ta'wil
dalam tradisi islam dinamakan juga "tafsir simbolik" karena
menekankan perhatian pada ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam teks,
atau dinamakan "tafsir sufistik" sebab yang menggunakan metode ini
pada umumnya ialah para sufi.
Bagi seorang ahli ta'wil, fungsi
simbol ialah untuk menyingkap dataran kesadaran yang berbeda dari kesadaran
yang diperolah dengan kesaksian rasional. Simbol merupakan metode terselubung
untuk menuliskan sebuah rahasia yang tujuannya menyatakan sesuatu yang tidak
dapat dipahami dengan cara lain kecuali melalui simbol itu sendiri. Simbol
tidak pernah dapat menjelaskan sesuatu, karena itu ia mesti ditafsirkan secara
terus-menerus. Sebab simbol dihasilkan oleh imajinasi aktif (takhayyil)
maka ta'wil hanya dapat terlaksana apabila seorang penta'wil dapat
mempergunakan imajinasi aktifnya. Jika meminjam bahasa Corbin tentang imajinasi
aktif adalah cermin yang sebenarnya dalam jiwa manusia, tempat epifani (mazhar)
dari citra tentang dunia archetypal (the apiphanic place of the image
of the archetypal world). Ia adalah tempat atau sumber dimana seseorang
dapat memahami wujud aslinya.
Dalam ta'wil, analisis bertumpu pada
tamsil, kias, citra simbolik dan metafora yang muncul sebagai unsur utama dari
teks. Seorang peneliti harus berusaha mencapai makna terdalam, yakni "yang
batin" dari teks dengan menjelajahi makna denotatif atau referensial,
bahkan menembus makna konotatif yang akhirnya sampai kepada makna sugestif atau
makna hakiki. "Yang batin" di dalam puisi penyair-penyair sufi
merupakan aspek kognitif berkaitan dengan ontologi sufi. Dan menurut Ibn Arabi
lebih jauh mengatakan bahwa proses penafsiran dalam metode ta'wil mesti
dilakukan dengan melintasi bentuk lahir, sebagaimana menafsirkan arti mimpi
dengan ta'bir yang bertujuan memperoleh I'tibar. Sekali
pelintasan dilakukan, menurut beliau, seseorang mesti memberi ibarat kepada
makna dalam melalui bentuk luar. Tetapi dalam melakukan pelintasan tersebut,
pemikiran rasional meninggalkan bentuk lahir. Pemikiran rasional tidak dapat
menerima makna literal dari ayat "segala yang ada di langit dan di bumi
memuji-Nya" (Q 57 :1), tanpa memberi ibarat kepada maknanya melalui
berbagai penafsiran.
Secara etimologis, perkataan ta'wil
berarti "membawa kembali", atau 'membawa kembali kepada asal'. Yang
asal itu bersifat spiritual dan merupakan yang berada di pusat, yaitu tempat
yang dapat dilihat disembunyikan dan yang tersembunyi diperlihatkan. Secara
lebih luas ta'wil berarti menemukan lagi, menerangkan lagi dan menafsirkannya.
Di dalam konteks sastra ia berarti 'berusaha kembali lagi atau menemukan lagi
makna asal dari teks'. Dengan perkataan lain ta'wil adalah proses penafsiran
dengan menyelami lubuk terdalam simbol (mitsal) untuk mencapai rahasia
spiritual teks. Disini seseorang dapat mencari makna asal atau sesuatu yang
mirip dengan makna asalnya. Di dalam pelaksanaan kerjanya, ta'wil merupakan
proses pengkiasan yang membawa seorang penelaah kepada makna batin teks.
Sebagai sesuatu yang berada di permukaan teks shurah hanya merupakan
simbol yang melambangkan makna, sedangkan makna itu sendiri berada dalam
simbol. Ini berarti shurah bukan makna itu sendiri. Seorang penta'wil
mesti menembus bentuk lahir dan bergerak menuju makna hakiki atau mengembara
sejauh mungkin melalui simbol menuju 'yang disimbolkan' (mamtsul).
Ta'wil bekerja apabila kita mampu
membedakan antara simbol dengan alegori (ibarat) dalam sebuah teks dan memahami
bagaimana sebuah simbol terjadi. Penggunaan logika saja tidak cukup bagi
seorang penta'wil. Ta'wil menuntut penglihatan ruhani. Seorang penta'wil
mesti sanggup menghidupkan penglihatan ruhani dalam dirinya dan untuk tujuan itu seorang
penta'wil harus menggiatkan akal kontemplatif dan imajinasi kreatifnya. Jika
seseorang telah menggiatkan akal kontemplatif dan imajinasi kreatifnya, maka
orang tersebut tidak akan lagi melihat teks yang dikaji sebagai konsep logis
yang universal, tetapi melihatnya sebagai bentuk dari pengkiasan atau
pelambangan (tamsil). Hai ini tidak sama dengan metode ilmiah yang
merupakan hasil penembusan indrawi terhadap objek-objek luar yang hasilnya
disalurkan kepada pikiran di dalam jiwa. Ta'wil mengutamakan penglihatan ruhani
dan penglihatan inilah yang memancarkan jiwa terhadap dunia luar. Dan akal
kontemplatif dan imajinasi kreatif berfungsi sebagai pembimbing dan mengarahkan
penglihatan indra dan mengalihkan sesuatu yang indrawi menjadi simbol.
Dalam menelaah sebuah puisi, yaitu
dengan meminjam perkataan Ibn Arabi, seorang penta'wil mesti dapat mengalihkan
citra-citra visual menjadi citra-citra simbolik yang tipikal dan luas kandungan
maknanya, dan dengan demikian menyebabkan citra-citra itu menjelma sebagai
bingkai wujud lain yang lebih berarti dan luas cakupannya. Untuk mendalami lagi
ta'wil ada baiknya kita melihat pandangan para perintisnya yang
terkemuka seperti Sahl al-Tustari dan Imam al-Ghazali. Karena mereka tidak
hanya merumuskan cara kerja metode ta'wil dan landasan-landasan teorinya,
tetapi menerapkannya juga dalam kajian dan tafsir mereka terhadap ayat-ayat
al-Qur'an dan dalam analisis terhadap puisi sufistik.
Dan sebenarnya metode ta'wil
bukanlah metode empiris atau pun rasional tetapi merupakan gabungan metode
empiris, rasional dan intuitif dengan menekankan pentingnya penglihatan ruhani
akal dan imajinasi kreatif. Seorang peneliti, dalam penjelajahannya dari dunia
indra menuju dunia spiritual, mengaitkan imajinasi dengan akal maupun institusi
intelektualnya. Dia harus menjelajahi dunia makna, dan setelah menemukan jejak
terakhir makna barulah ia menafsirkan dan kemudian menyampaikan hasil
penafsirannya kepada pembaca dalam bentuk gagasan keruhanian dan pengetahuan
yang dapat membawa kepada pencerahan. Seperti halnya penulis teks itu sendiri,
seorang penafsir atau pembaca yang baik akan merujuk kepada cahaya yang berada
di alam malakut yaitu al-Qur'an, dan kitab kalbu serta kitab pikiran
dalam dirinya, apabila ia berkeinginan memahami kandungan teks yang
sesungguhnya.
Dan fungsi teks dalam metode ta'wil
hanya membimbing dan memandu pembaca. Teks bukan tujuan terakhir dari
hermeneutika. Tujuan hermeneutika berada di balik teks, sebagaimana tujuan
pengarang menulis teks dan menyeberanginya untuk mencapai kebenaran dan
kehidupan yang lebih tinggi.
G.
PENUTUP
Kajian ini telah berupaya mengungkap
beberapa aspek penting dalam dunia sufi khususnya, baik ditingkatan estetik,
semiotik maupun hermeneutik yang berkenaan dengan sastra sufistik. Dalam sastra
sufistik ini merupakan suatu karya yang kaya akan gagasan dan pengalaman
keruhanian. Yang sebenarnya karya tersebut dapat digolongkan ke dalam jenis Syi'r
al-kasyf wa al-ilham, yaitu karya yang ditulis berdasarkan kasyf
atau penglihatan keruhanian yang disebabkan penulisanya sudah mencapai makrifat
dan persatuan mistik.
Dalam analisa ini sebenarnya bukan
sebuah hal yang amat sangat mudah , jika kita sendiri secara pribadi belum
merasa selesai di tingkatan alam keruhanian yang bersifat transendental. Karena
ketika kita membongkar sebuah sesuatu yang dikatakan "suci", tetapi
ditingkatan kita sendiri belum selesai, yang terjadi adalah sekedar analisa
teoritik pragmatik. Akan tetapi tiada kata lain yang dapat saya ungkapkan
kecuali berbaik sangka semoga dengan analisa ini saya secara pribadi
mendapatkan sebuah panggilan atau ilham untuk mendalami atau menyelami lautan
ruhani yang transendental dan menemukan jalan yang benar-benar menuju kepada
kecintaan ilahiah.
* Mahasiswa
Smt. VII Jur. Bahasa/Sastra Arab UIN Malang.
REFERENSI
1. Abdul Karim, (1965),
al-adab al-sufi mafhumin Jadidin
dalam silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Tsaqafah
al-Arabiyyah.
2. Kuntowijoyo (1984). "Saya Kira Kita Memerlukan Juga
Sebuah Sastra Transendental". Duapuluh Sastrawan Bicara. Jakarta:
Sinar Harapan.
3. Ahmad Baharuddin, (1992,ed). Sastera Sufi. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
4. Maksum Ali, Drs, M.A, (2003). Tasawuf sebagai
Pembebasan Manusia Modern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
5. Hadi Abu W. M, Dari, (2001). Tasawuf yang Tertindas.
Jakarta : Paramadina.
6. Chittick C. William, (2000). Jalan Cinta Sang Sufi
(terj.). Yogyakarta : Qalam.
7. Braginsky. I.V, (1998). Yang Indah, Berfaedah Dan
Kamal. Jakarta : INIS.
" Hendaknya
engkau tahu bahwa Tuhan telah memberi kekuatan pada Setan melalui Kehadiran
Imajinasi. Dia memberinya sebuah kekuatan darinya. Karenanya, ketika Setan
melihat seorang faqih yang
cendrung mengikuti hawa nafsunya yang mengatasnamakan Tuhan, maka dia akan
mendorongnya untuk berbuat kejahatan melalui penyimpangan dalam pena'wilannya
yang akan menampakkan diri padanya suatu kebaikan dalam pertimbangan rasional
"
( Ibn al-Araby ).
1 Lihat
Abdul Karim, al-adab al-sufi mafhumin Jadidin dalam silsilah al-Tsaqafah
al-Islamiyah (Kairo:
Dar al-Tsaqafah al-Arabiyyah, 1965), hlm. 20.
2 Lihat Kuntowijoyo (1984).
"Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental". Duapuluh
Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.
3 Lihat Baharuddin Ahmad,
(1992,ed). Sastera Sufi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
No comments:
Post a Comment