Tak terasa pesta demokrasi di Kota Malang sebentar lagi akan digelar,
tepatnya pada tanggal 23 Mei 2013, akan tetapi gaung jelang Pemilukada
(utamanya dari bakal calon) mulai terasa bahkan jauh sebelum bulan puasa
kemarin. Dilain pihak KPU Kota Malang mulai sibuk mempersiapkan
perencanaan yang matang dalam menyususn program, anggaran, tahapan,
maupun regulasinya.
Namun apakah ini berbanding lurus dengan
animo masyarakat jelang pemilukada kota Malang? Dimana masyarakatlah
yang memiliki hak suara yang pastinya nanti akan menjadi ajang perebutan
suara oleh pasangan calon. Apakah adem ayemnya masyarakat ini adalah
sebuah gejala bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu (baik
pemilu legislatif, pilpres, mapun pemilukada) mulai menurun? Atau ada
hal-hal lain yang membuat masyarakat semakin apatis terhadap sistem dan
mekanisme pergantian elit kekuasaan?
Dari realitas tersebut perlu kita
memaknai kembali tentang “pendidikan politik” yang merupakan salah satu
komponen yang penting dalam mencapai keberhasilan pemilukada. Konteks
memaknai “pendidikan politik” dalam pagelaran
pemilukada adalah ibarat sebuah pemahaman yang bertolak belakang
(contradictio in terminis). Dua kondisi yang bukan hanya berbeda dan
berseberangan, tetapi justru saling menghilangkan. Pendidikan politik
mensyaratkan mengandung unsur-unsur bernuansa moral. Semisal, ketaatan
terhadap hukum atau aturan main, mengagungkan kepentingan publik,
memproses kebijakan secara prosedural, pro rakyat banyak, penuh
keteladanan, pencerahan publik, dan mengusung visi serta program yang
populis. Pendidikan politik adalah aktivitas yang berorientasi jangka
panjang, sistematik, rasional, dan kritis. Hasil dari pendidikan politik
adalah melahirkan dan menciptakan masyarakat yang kritis, terorganisir,
menghormati hukum, bervisi jauh, evaluatif terhadap kebijakan publik
dan tidak membabi buta terhadap seorang figur pemimpin.
Pemilukada adalah sebuah pilihan yang
harus diterima masyarakat karena perintah konstitusi. Pemilukada
merupakan sebuah mekanisme yang dianggap paling demokratis justru
menjadi ajang pemberangusan terhadap nilai-nilai edukasi publik.
Terlampau mudah untuk sekadar melihat pembiaran pelanggaranaturan main
dalam momen pertarungan politik memperebutkan kursi kepala daerah
tersebut. Mulai dari pemasangan atribut kandidat, spanduk, baliho,
bendera partai pendukung yang dipasang sembarang lokasi. Pelanggaran
masa pra, selama dan pasca kampanye, para kandidat bahkan telah
berkampanye jauh-jauh hari sebelum lampu hijau kampanye dimulai. Hingga
pemanfaatan fasilitas publik yang netral untuk kepentingan promosi
politik.
Berangkat dari persoalan teersebut
diatas maka salah satu cara yang harus dilakukan baik oleh partai
politik, pasangan calon, penyelenggara, pemerintah, ormas, lsm dan
komponen masyarakat lainnya adalah dengan dengan menata ulang makna dari
pendidikan politik masyarakat. Kita semua memahami bahwa karakteristik
pemilih di Indonesia dapat digolongkan menjadi 4 katagori :
- Pemilih yang bersifat loyalis-sentimentil, yakni, pilihan politiknya disebabkan oleh faktor pertimbangan naturalis (budaya) dan ideologis (agama).
- Pemilih yang bersifat emosional-irasional yaitu dalam melakukan pilihan politiknya cenderung didasarkan ikatan emosional tanpa pikiran kritis atas untung dan rugi terhadap pilihannya.
- Pemilih yang melakukan pilihan politik hanya pada bentuk mewakilkan (delegate) calon tertentu tanpa disertai harapan apa pun.
- Pemilih mobilisasi yang bersifat praktis-pragmatis yakni, turut serta dalam suatu pilihan politik karena dimobilisasi oleh elite politik lokal untuk memilih calon tertentu dengan imbalan material tertentu.
Pertanyaannya adalah bagaimana mendesain
pemilih menjadi pemilih sesungguhnya, bukan suporter (pemilih yang
semu), sehingga dapat mendongkrak kualitas pemilukada sekaligus mampu
memberikan makna pendidikan politik bagi masyarakat ?
Chaterine Barner (2001) menyebutkan, pola pemberdayaan publik atau
pemilih dalam bingkai pendidikan politik dapat dilakukan melalui tiga
tahap.
- Pertama, voters information atau pendidikan pemilih lebih ke arah informasi teknis pemilukada, misalnya tata cara pencoblosan, tempat, tanggal memilih, dan
syarat-syarat pemilih.
- Kedua, voters education, yakni, pemberdayaan
pemilih telah memasuki tahap-tahap filosofis, sosiologis, psikologis,
dan arti penting suatu pemilukada, serta
partisipasi publik dalam sistem demokrasi.
- Ketiga, civic education atau pemberdayaan publik sebagai entitas politik mempertimbangkan hak-kak asasi warga negara dalam suatu sistem demokrasi.
Tiga tahap pemberdayaan publik tersebut
harus dilakukan secara tepat, cermat, konsisten, dan simultan di negeri
ini, bila kita hendak memujudkan pemilih yang sesungguhnya. Dalam
pemilukada, pola pencerdasan pemilih harus dilakukan simultan dan tidak
boleh berhenti dalam satu tahap saja, dalam rangka menciptakan kesadaran
publik dalam memaknai pemilukada bagi perubahan nasib masa depan di
suatu daerah. (Zien,12/09/2012)
Sumber : KPUD - Kota Malang
No comments:
Post a Comment