Di Hamburg Jerman, saat ini sedang ramai membicarakan isu pemotongan anggaran
pendidikan oleh kotapraja. Hal ini ada kaitannya setelah
bergantinya partai yang berkuasa. Saat ini Hamburg dipimpin oleh SPD. Namun,
bukan isu partainya yang ingin saya angkat, melainkan bagaimana sebuah isu dalam
pendidikan telah menjadi isu politik yang hangat di tingkat lokal.
Sejak saya berusaha secara perlahan memahami politik di Jerman, terutama isu pendidikan, ternyata menarik diikuti. Kenapa demikian? Pertama, setiap negara bagian di seluruh Jerman, memiliki otoritas yang kuat dalam menentukan hal ihwal yang menyangkut warga di daerahnya, termasuk pendidikan. Maka, tidaklah heran bila kebijakan satu negara bagian di daerah Utara belum tentu sama dengan di daerah Selatan. Oleh karenanya, setiap partai politik dan koalisinya bertugas untuk memenangkan daerah-daerah tersebut dengan memainkan isu-isu strategis, salah satunya pendidikan. Sederhananya saya ingin memberi contoh begini. Kota Hamburg, pada tahun lalu yang dipimpin oleh CDU, telah menetapkan adanya tuition fee untuk mahasiswa sarjana dan pasca sarjana di semua kampus. Namun, saat ini karena kebijakan SPD tidak ada tuition fee maka winter semester akan datang mahasiswa pasti berbahagia tentang ini. Hal yang sama bisa terjadi di daerah lain, tergantung siapa partai yang berkuasa.
Kedua, meski isu internasionalisasi pendidikan tengah menghangat di Jerman, salah satu indikatornya adalah upaya menggaet mahasiswa internasional dan aspek lainnya, namun demikian, persoalan anggaran dan pengetatannya adalah isu krusial lainnya yang dihadapi oleh universitas. Di satu sisi, universitas dituntut untuk menjadi lebih “internationalized”, tetapi di sisi lain anggaran riset dan pengembangan keilmuan ditekan oleh pemerintah. Yang terjadi adalah perlawanan. Perlawanan untuk menunjukkan bahwa agenda pendidikan adalah juga penting, jadi mohon untuk tidak dipotong anggarannya. Inilah ironis yang tengah terjadi di Hamburg. Maka dalam konteks ini benar-benar paham bahwa politik itu adalah sarana untuk menempatkan isu-isu strategis demi kepentingan bersama, salah satunya isu pendidikan.
Pertanyaan lanjutannya, apa bisa kita melihat ini di Indonesia? Saya bilang bisa. Contoh yang mudah dibaca adalah ditetapkannya UU Sistem Pendidikan nasional tahun 2003. Isu yang mau saya angkat juga sama yakni anggaran 25 persen untuk pendidikan. Seingat saya dulu, isu ini adalah sensitif dan krusial karena menyangkut banyak perubahan terutama mengurangi anggaran sektor lain yang juga merasa penting. Meski akhirnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi, namun keputusan untuk tetap menerapkan anggaran 25 persen dalam waktu segera bisa diwujudkan. Tetapi yang berbeda adalah partai politiknya. Partai yang ada di DPR tidak memiliki agenda yang jelas dan tegas untuk membedakan agenda dan isu anggaran tersebut. Mereka hanya mengikuti arus perdebatan tanpa memiliki visi yang jelas. Akibatnya, anggaran pendidikan yang sudah hebat tersebut tidak dimanfaatkan oleh partai politik untuk bermain dalam isu ini, semisal tentang apa yang kurang, apa yang harus dipenuhi, daerah yang yang harus dibenahi,dsb.
Lalu apa yang dibutuhkan? Saya melihat ada kebutuhan bahwa partai politik dan politisi yang ada di DPR benar-benar paham bagaimana isu pendidikan dikelola. Bukan atas dasar kepentingan mereka secara personal, namun untuk kepentingan bersama dan rakyatnya. Pada satu sisi, saya merasa bangga dengan anggaran pendidikan kita semisal makin banyaknya orang-orang pintar dikirim belajar ke luar negeri dengan biaya negara sendiri, tetapi pada sisi lainnya saya juga miris mendengar masih banyaknya sekolah-sekolah SD di pedalaman yang tidak terurus dengan baik serta kurangnya guru-guru di sekolah tersebut. Maka tugas politisi untuk mendesak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, bukan lebih banyak menimbang-nimbang proyek demi kepentingan pribadi.Apakah mereka siap melakukan itu?
Sejak saya berusaha secara perlahan memahami politik di Jerman, terutama isu pendidikan, ternyata menarik diikuti. Kenapa demikian? Pertama, setiap negara bagian di seluruh Jerman, memiliki otoritas yang kuat dalam menentukan hal ihwal yang menyangkut warga di daerahnya, termasuk pendidikan. Maka, tidaklah heran bila kebijakan satu negara bagian di daerah Utara belum tentu sama dengan di daerah Selatan. Oleh karenanya, setiap partai politik dan koalisinya bertugas untuk memenangkan daerah-daerah tersebut dengan memainkan isu-isu strategis, salah satunya pendidikan. Sederhananya saya ingin memberi contoh begini. Kota Hamburg, pada tahun lalu yang dipimpin oleh CDU, telah menetapkan adanya tuition fee untuk mahasiswa sarjana dan pasca sarjana di semua kampus. Namun, saat ini karena kebijakan SPD tidak ada tuition fee maka winter semester akan datang mahasiswa pasti berbahagia tentang ini. Hal yang sama bisa terjadi di daerah lain, tergantung siapa partai yang berkuasa.
Kedua, meski isu internasionalisasi pendidikan tengah menghangat di Jerman, salah satu indikatornya adalah upaya menggaet mahasiswa internasional dan aspek lainnya, namun demikian, persoalan anggaran dan pengetatannya adalah isu krusial lainnya yang dihadapi oleh universitas. Di satu sisi, universitas dituntut untuk menjadi lebih “internationalized”, tetapi di sisi lain anggaran riset dan pengembangan keilmuan ditekan oleh pemerintah. Yang terjadi adalah perlawanan. Perlawanan untuk menunjukkan bahwa agenda pendidikan adalah juga penting, jadi mohon untuk tidak dipotong anggarannya. Inilah ironis yang tengah terjadi di Hamburg. Maka dalam konteks ini benar-benar paham bahwa politik itu adalah sarana untuk menempatkan isu-isu strategis demi kepentingan bersama, salah satunya isu pendidikan.
Pertanyaan lanjutannya, apa bisa kita melihat ini di Indonesia? Saya bilang bisa. Contoh yang mudah dibaca adalah ditetapkannya UU Sistem Pendidikan nasional tahun 2003. Isu yang mau saya angkat juga sama yakni anggaran 25 persen untuk pendidikan. Seingat saya dulu, isu ini adalah sensitif dan krusial karena menyangkut banyak perubahan terutama mengurangi anggaran sektor lain yang juga merasa penting. Meski akhirnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi, namun keputusan untuk tetap menerapkan anggaran 25 persen dalam waktu segera bisa diwujudkan. Tetapi yang berbeda adalah partai politiknya. Partai yang ada di DPR tidak memiliki agenda yang jelas dan tegas untuk membedakan agenda dan isu anggaran tersebut. Mereka hanya mengikuti arus perdebatan tanpa memiliki visi yang jelas. Akibatnya, anggaran pendidikan yang sudah hebat tersebut tidak dimanfaatkan oleh partai politik untuk bermain dalam isu ini, semisal tentang apa yang kurang, apa yang harus dipenuhi, daerah yang yang harus dibenahi,dsb.
Lalu apa yang dibutuhkan? Saya melihat ada kebutuhan bahwa partai politik dan politisi yang ada di DPR benar-benar paham bagaimana isu pendidikan dikelola. Bukan atas dasar kepentingan mereka secara personal, namun untuk kepentingan bersama dan rakyatnya. Pada satu sisi, saya merasa bangga dengan anggaran pendidikan kita semisal makin banyaknya orang-orang pintar dikirim belajar ke luar negeri dengan biaya negara sendiri, tetapi pada sisi lainnya saya juga miris mendengar masih banyaknya sekolah-sekolah SD di pedalaman yang tidak terurus dengan baik serta kurangnya guru-guru di sekolah tersebut. Maka tugas politisi untuk mendesak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, bukan lebih banyak menimbang-nimbang proyek demi kepentingan pribadi.Apakah mereka siap melakukan itu?
No comments:
Post a Comment