Pengantar
Tebuireng, nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule).
Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren
Pondok Pesantren Tebuireng sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.
Langkah Antisipatif
Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).
KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI PENDIRI PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA’
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.
At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.
KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI
Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.
Tebuireng, nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule).
Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren
Pondok Pesantren Tebuireng sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.
Langkah Antisipatif
Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).
KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI PENDIRI PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA’
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.
At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.
KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI
Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.
No comments:
Post a Comment