Naskah Teater : MALIN The End Scene - M.S. Nugroho


DI LAUTAN. OMBAK BERDEBURAN DAN LANGIT BERKILATAN. KAPAL MEMBATU  DAN ANGIN GEMETARAN. SEKELOMPOK ORANG BERNYANYI LAYAKNYA NELAYAN.

Penyanyi 
Cerita membuka luka di balik luka
Pedas dan pedih tiada terasa
Air mata hanyalah hiasan
Hati dan pikiran jadi redam

Jika amarah jadi udara
Mulut menyembur tiada terarah
Tangan menusuk sampai berdarah
Setan dan nafsu menjadi kendara

BADAI MENGGERAM, SUARA MALIN TERTAWA LANTANG.

MALIN         
Tidak. Aku tidak punya bunda seperti kau!

BUNDA        
Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak bumi. Nyawamu
tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku, kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku,  kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau, batulah engkau!

MALIN         
Bunda, benarkah engkau itu Bunda?

Dalang     
Duh, Bunda si Malin Kundang
Telinga terbakar, hati berdarah
Mulut mengutuk anak tersayang
Langit keramat tersentak dan jadilah...

PENYANYI 
Halilintar mencambuk lautan, maka kutukan jadilah perwujudan.

BUNDA TERTAWA KESURUPAN

DALANG       
Tapi sekejap kemudian sadarlah BUNDA.
MALIN telah lenyap dari pandangan.
Tinggal sebongkah batu kesepian.
Air mata jadi rinai hujan.

PENYANYI 
Tiga belas burung camar berputaran
Dengan paruh teriakan bersahutan
Kini udara menjadi mantra kutukan
Terpendam dari senja kesedihan

BUNDA          
Malin! Malin! Malin! Di manakah engkau, Anakku? Malin, apakah engkau
mendengarku? Malin, jawablah. Sembunyi di mana, diam di mana,  Anakku?
Jawablah. Aku yakin, kau mendengarku. Tidak bisa tidak, kau pasti  mendengar aku. Dengarlah. Peluklah Bunda kau sekarang. Katakan  kau  merindukan aku. Ayo lakukan. Kalau tidak, buat apa aku hidup. Aku  menjaga nafasku untuk mencium kening kau. Kalau Bunda tak kau jawab, sia-sialah kuhirup nafasku sendiri. Dan baju sang maut akan lebih layak
kukenakan. Upacara kematian di depan mata anaknya sendiri yang tak tahu  diri. Kau lihat, Malin. Tongkat ini masih cukup tajam untuk menusuk   jantung renta ini. Kau kuhitung sampai sembilan untuk datang kepadaku.   Karena kau telah datang ke pangkuan bunda melalui sembilan bulan eraman   rahimku. Bersiaplah, aku mulai menghitung dari angka paling akhir.

Sembilan....  Malin, baiknya, maafkan Bunda. Bunda tak sengaja, Sayang.   Ini tak sengaja. Ini seperti teriakan sakit ketika gigi susumu menggigit   putingku. Aku sakit  kepada diriku sendiri, bukan kepada kau. Delapan...   Mana mungkin seorang ibu menyakiti anaknya. Untuk apa perjuangan   melahirkan kau kuhapus sendiri dengan mengusir kau. Untuk apa Bunda   mempertaruhkan nyawa kalau untuk membenci kau. Untuk apa Bunda membanting tulang untuk kau. Tujuh.... Kalau pada akhirnya harus mengutuk anaknya. Untuk apa? Malin, itu  bukan Bunda. Sekarang, inilah Bunda, Malin. Bunda yang rela kakinya berdarah-darah, naik-turun gunung, jutaan hasta untuk menatap wajahmu.  Enam.... Inilah Bunda, Malin. Bunda
yang sabar sendirian menunggu ratusan malam di tengah udara jahat dan tamparan hujan untuk menyambut kedatangan kapal kau. Lima....

Inilah Bunda, Malin. Bunda yang rela mencium kaki kau dan bahkan  berubah menjadi batu  supaya kau  tersenyum. Empat.... Bunda bersungguh-sungguh untuk membunuh diri jika kau tak menjawab, Malin. Tiga.... Apakah kau benar-benar telah menjadi batu? Telinga kau menjadi batu dan hati kau juga menjadi batu?  Dua.... Sampai hitungan kesekian kau tidak
juga menjawabku, Malin? Apakah Bunda terlalu hina untuk kau? Satu.... Ini sudah masuk hitungan terakhir. Kau di mana? Kau memang batu. Aku mengajari kau menjadi lautan, kau malah menjadi batu.  Aku akan.... Ini detik terakhir.... Nol....Nol.... Nol.... Malin, kau sangat tega, ya? Ini kau sudah putuskan. Baiklah, mungkin ini yang terbaik. Bunda memang bersalah.

Bunda memang telah mengutuk kau. (Mengoyak-ngoyak  bajunya   sendiri)    Badan ini memang tak layak sebagai seorang bunda. Jantung ini memang     baiknya diam selamanya untuk minta ampun pada kau. Bunda memang     pantas mati untuk menebus kesalahan Bunda. Darah ini akan menjadi saksi.  Nyawa ini untuk kau, Malin!

BUNDA MENUSUK JANTUNGNYA SENDIRI.

DALANG       
Duh, derita mana bisa kalahkan derita bunda
Derita bunda karena kasih kepada putranya
Dipalingkan dan dicampakkan putranya sendiri
Putra yang tak menganggap bundanya lagi

DALAM LINDAP SENJA, MALIN BERGERAK-GERAK SEPERTI BAYI BARU LAHIR. MATANYA PENUH AIR. AWALNYA GAGAP DAN SUARANYA BERUPA BISIK.

MALIN           
Bunda. Bunda. Jangan lakukan!

BUNDA          
Malin? (Tersenyum) Engkaukah itu?

MALIN           
Ini Malin, Bunda. Anakmu.

BUNDA          
Malin!


DALANG       
Tarian kerinduan membuncah menjadi pertemuan. Tiada lain yang dilakukan kecuali pelukan yang dieratkan. Pelukan demi pelukan yang sukar terpuaskan.

Bunda tertawa kegirangan. Sejenak kemudian merona kemarahan dilimbur tangisan.

BUNDA        
Kau jahat. Kau jahat. Mengapa kau lakukan ini. Batulah kau. Batulah kau. 

MALIN         
Bukankah ini yang Bunda inginkan? Ini Malin sudah menjadi batu, Bunda.

BUNDA        
Apa? Kau tak paham juga. Lihatlah mata Bunda. Dua puluh tiga matahari  telah memeluk aku dan kau, tapi kau tak kenal juga wajah Bunda. Ayolah,  bangun. Peluk Bunda.

MALIN         
Tidak, Bunda. Biarlah Malin tetap menjadi batu. Menjadi batu dan tidak akan berubah.

BUNDA        
Kau memang batu dan tidak akan berubah!

MALIN         
Ini sudah menjadi garis nasib Malin, Bunda. Langit keramat tidak akan mengabulkan kutukan Bunda kalau  kata-kata hanya permainan. Kemarahan Bunda yang paling dalam telah menggetarkan darah dan  lengan  langit.

BUNDA (Menangis)
Tidak, Malin. Tidak. Bunda tidak marah.  (Tersenyum) Apa yang paling  terang dalam hidup ini adalah misterinya. Ketika bapak kau ditelan gelombang dulu kukira memang benar-benar meninggalkan aku. Ternyata tidak. Bapak kau menyisakan cintanya dalam perutku, yaitu kau Malin. Kaulah cahaya dalam hidupku. Kaulah sumber kebahagiaan aku, Malin. Kau ingat lagu yang kita nyanyikan bersama dalam sinar bulan? (Menyanyi) Ketika matahari terang, kita sering bekejar-kejaran di ladang jagung milik kita. Kau sering bersembunyi di balik gundukan tanah. Malin, Malin. Kupanggili kau. Aku cemas mencarimu ke mana-mana. Malin, Malin!

MALIN (Tiba-tiba memeluk punggung BUNDA dan tertawa-tawa)
Malin di sini,  Bunda!

BUNDA        
Kau mengagetkan aku, Malin. Kau nakal, Malin. Kau nakal.

MALIN         
Tapi aku pernah menangkap ayam hutan merah untuk Bunda. Lalu kita panggang malam harinya! Bunda melumuri dagingnya dengan madu lebah hutan. Hm... harum. ( Makan) Gurih sekali.

BUNDA        
Aku melihat melalui cahaya api panggangan, kau makan lahap sekali. Bahkan kau hampir menghabiskan ayamnya. Tak apalah aku tidak mendapatkan sisa dagingnya. Aku sudah senang melihat wajahmu menyala gembira.


DALANG     
Duh, inilah pertemuan anak semata wayang dan bunda tersayang
Waktu seolah berulang, bayangan jadi layar terbentang
Kisah sehari-hari jadi indah ketika dikecup oleh kenangan
Sayang-sayangnya ini bukanlah suasana untuk senang-senang.

MALIN (Menangis)
Bunda, aku sekarang juga tidak apa-apa menjadi batu seperti  ini.  Tidak usah cemaskan aku. Biarlah aku bisa merasakan kesepian Bunda seperti ketika kutinggal merantau dulu.

BUNDA        
Tidak, Malin. Bunda maklum kau tak kenal Bunda lagi. Ketika engkau pamit, Bunda masih bugar bersinar. Setelah lewat tiga tahun, Bunda sering sakit dan ladang kita telah tergadai. Kemudian aku mendengar angin berkabar Malin akan berlabuh di pulau ini.  Cepat-cepat aku berangkat. Aku menunggu kau di pantai. Terus saja aku menatap cakrawala. Tanpa rumah berteduh, tanpa air untuk berbasuh, tanpa kilau cermin. Berhari-hari. Kau bisa melihat betapa kacaunya penampilanku (tertawa).

MALIN (Menangis tambah keras)
Batulah aku. Batulah aku. Betapa durhakanya  aku,  Bunda. Bertahun-tahun tega meninggalkan ibunya sendiri dalam  sakit dan  melarat. Anak macam apa aku ini, Bunda. Aku memang pantas jadi batu,  Bunda...

BUNDA        
Malin. Semua itu perintah lautan, anakku.

MALIN         
Ketika aku turun ke pantai ini, kakiku berdarah-darah amat perihnya. Aku  tak bisa bayangkan kalau yang berjalan itu kau, Bunda. Berlaksa depa  menapak, turun lembah naik bukit, ditampar malam dihajar siang, didera   lapar, dalam lara dan nestapa. Kemudian mendapatkan hadiah ditolak  anaknya. Betapa ini sangat menyakitkan, Bunda. Aku anak terkutuk.  Aku    terkutuk, Bunda.

BUNDA        
Aku telah rela,  Anakku. Toh, akhirnya kerinduan telah terbayarkan, Malin.

MALIN         
Tapi aku mencampakkan kau, Bunda.

BUNDA        
Karena kau tidak tahu. Udara laut telah menyihir mata kau. Kau menganggap  aku gelandangan atau orang gila. Kau pasti tidak membayangkan kalau  aku bunda kau.

MALIN         
Bunda terlalu ingat pada anak, hingga lupa diri sendiri. Aku pun tak tahu diri, hingga lupa kepada bunda sendiri.

DALANG     
Hm, sang waktu telah berkhianat
Meremukkan segar wajah Bunda
Jadi renta dan nestapa

PENYANYI 
Sang Bumi pun telah beruntun menyerbu
Tanah kebun besar beribu-ribu
Jadi hanya segenggam debu

DALANG     
Lalu apa salah jika mata tak lagi kenal Bunda?  Bayangan telah jauh meninggalkan kenyataan.

BUNDA (Tertawa)
Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu  kepada istri dan anak buah kau? 

MALIN         
Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.

BUNDA        
Jangan justa! Katakan dengan jujur!

MALIN         
Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung halaman.  Sebenarnya  kami ke pulau ini memang hendak menjemput Bunda. Tapi...

BUNDA        
Kau malu untuk mengakui bahwa ....

MALIN         
Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri Sabarini,  istriku. Aku takut...

DALANG       
Mendengar namanya disebut, runtuhlah sebongkah batu, dan jadilah Puteri Sabarini. Musik pengantin mengembang di udara.

PUTERI          
Malin. Malin. Mengapakah Uda menyebutkan namaku untuk  mendurhakai,  Bunda.  Siapakah malu mengakui kalau sang bunda melarat atau tak waras. Bunda adalah hakikat kehidupan, tak ada sesuatu pun bisa mengubahnya. 

MALIN           
Puteri?

PUTERI          
Aku menyertai Uda adalah untuk mencium kaki Bunda. Siapa pun  wanita itu. Aku adalah menantunya.

MALIN           
Maafkan aku, Puteri.

PUTERI (Merayu)
Tidak hanya itu Uda, bersujudlah kepada Bunda. Mintalah maaf  pada bunda kita.  Beliaulah suluh suci untuk pernikahan kita.

BUNDA          
Lihatlah, Malin, inilah anakku itu. Puteri yang agung dan berkilauan. Aku  bangga kau mendampingi puteraku.


DALANG       
Maka sepasang pengantin suci datanglah
Laksana layang camar bercermin di alun tenang
Maka bersujud di kaki bunda pembawa restu
Laksana sujud air laut pada pasir pantai

DALANG MEMBAWA PAYUNG TOMBAK DAN MENARI. PARA PENYANYI MENGIRINGI ACARA YANG JADI PESTA PERNIKAHAN. PERAYAAN AGUNG LAYAKNYA PERNIKAHAN SEORANG PANGERAN.

BUNDA          
Anak-anakku, terang dan malam telah mengembangkan namamu. Melihat  kalian adalah berhadapan dengan bunga mawar. Wajahmu menikmatkan  mata dan wanginya menyegarkan dada. Tapi durinya membuat kulitku terasa berdarah. Aku merasa gembira dan bangga tapi juga merasa cemas  kehilangan kalau kalian menikah. Tapi ini adalah kehendak matahari. Maka dengan ini Aku berkati pernikahan kalian. Jadilah pengantin abadi yang tak  goyah oleh arus waktu dan gelombang dunia....  

SEMUA BERTEPUK TANGAN DAN BERGEMBIRA. TARI-TARIAN ULAR DAN MACAM-MACAM PERTUNJUKAN MENJADI HIBURAN YANG MERIAH.
TIBA-TIBA....

ORANG (Kepada DALANG)
Pak Tua, mengapa ceritanya jadi begini?

DALANG       
Mengapa? Kalian tidak suka ada kebahagiaan dalam cerita Malin  Kundang?  

ORANG          
Tidak. Kami tidak bermaksud demikian. Kami hanya bertanya.

DALANG       
Saya memang pembawa cerita. Tapi bukan berarti saya harus memaksa   para pemain mengikuti pola yang telah ada. Kalau kalian ingin tahu  alasannya, tanyakan saja kepada pemerannya sendiri.

ORANG          
Baik, Pak. Kami akan lakukan. Terima kasih.

ORANG (Kepada Malin)
Saudara Malin, mengapa semua jadi begini?

MALIN           
Maaf. Kita hormati wanita utama yang pertama berbicara.

ORANG (Kepada Bunda)
Bunda, bagaimana perasaan Bunda atas pernikahan  Malin dan Puteri Sabarini?

BUNDA (Tersenyum)
Tentu saja sangat bahagia. Kebahagiaan anak adalah  kebahagiaan aku sebenarnya.

ORANG          
Kalau begitu “penderitaan anak adalah penderitaan bunda?” Mengapa Bunda tega sekali mengubah anak kesayangan menjadi batu?

BUNDA (Marah)
Dengar dan catat. Aku tidak pernah mengubah Malin menjadi  batu.  Itu di luar kekuasaanku. Langitlah yang membuat Malin menjadi batu. Bukan aku.

ORANG          
Bukankah sudah terbukti bahwa Bunda mengeluarkan kata-kata kutukan agar Malin menjadi batu?

BUNDA          
Apa? Siapa yang menyebut kutukan?

ORANG          
Kalau Bunda tak mengutuk Malin mana mungkin Malin menjadi batu?

BUNDA          
Kalau langit tak berkenan mana mungkin itu terjadi! (Menangis) Sudah  cukup. Ini bukan wawancara. Ini pembunuhan. Ini pembunuhan! (Pergi)

ORANG          
Malin, Malin. Bagaimana pernyataan Anda, Malin?

MALIN           
Maaf. Tolong. Perempuan lebih dulu. (Membopong Bunda pergi)

ORANG (Kepada Puteri Sabarini)
Puteri, apakah Anda akan mengikuti Malin?

PUTERI          
Tentu saja. Saya istri Malin. Apapun yang terjadi saya harus  menghormatinya. Maaf, yang ini rahasia, jangan dicatat. Kalau aku ikut  mertua, tentu akan menyenangkan bunda tapi menyiksa saya. Kembali ke  orang tua sendiri sama halnya mencoreng kening saya dan menghinakan  suami tercinta.

MALIN           
Tidak, Puteri. Dinda tidak bersalah, jadi tidak pantas kalau Dinda ikut  menanggung hukuman ini.

PUTERI          
Uda, justru aku akan bersalah kalau aku meninggalkan Uda sendiri.

MALIN           
Pulanglah. Aku tak perlu belas kasihanmu.

PUTERI          
Uda tega mengusir aku? Udalah yang telah menyunting aku.

MALIN           
Keberadaan kau di samping aku justru akan melipatkan kesedihan aku.

PUTERI          
Uda, pengorbanan istri adalah .....

ORANG (Menyela)
Maaf. Sudah, sudah. Sekali lagi maaf. Karena ini berkembang menjadi urusan pribadi keluarga;  kita tidak sopan kalau membiarkan  peristiwa ini terbuka untuk khalayak. Namun baiklah kita pilihkan kata damai saja, musyawarah untuk mufakat.

MALIN TERUS BERTENGKAR TANPA SUARA. ORANG-ORANG BERUSAHA MELERAI.

DALANG       
Ini menjadi peristiwa yang bersejarah. Inilah pertengkaran pertama dalam keluarga Malin. Mengapa kekerasan selalu pintar menyusun alasan.Biarlah mereka menuntaskan dulu masalahnya. Marilah kita pergi.

Semua pergi.  BUNDA  menangis sendiri.


BUNDA          
Kutuk apa,  dosa apa. Mengapa langit tidak mengubahku menjadi batu saja?  Menjadi batu lebih punya makna daripada kesedihan seorang bunda. (Mengutuk diri sendiri) Batulah aku. Batulah aku. Batulah aku! (Sepi)  Mengapa langit tak menjawab? Mengapa aku tak menjadi batu? (Kepada  langit) Ini pasti sudah Kau rencanakan. Senyummu berkilat. Ada yang Kau tunggu? Ya, aku sudah tahu. Aku merasa air laut sudah bersiap mencatat. Aku mendengar badai sudah berkemas mengantar. Lihatlah. Ini  akan menjadi  menara peringatan, yang bisa terbaca dari dunia dan sejarah yang amat jauh. Malin, Anakku. Bunda telah datang...          

BUNDA MENGHUJAMKAN TONGKAT KE DADANYA. ORANG-ORANG MENCEGAHNYA.

BUNDA (Marah)
Mengapa aku tidak boleh mengucurkan darahku sendiri? Lihatlah dirimu sendiri. Di darah kau juga mengalir darah bunda karena kalian  semua pasti dilahirkan oleh seorang Bunda.

ORANG (Menangis)
Bunda, jangan kotori kisah ini dengan ceceran darah. Kami sudah cukup menderita dengan apa yang telah terjadi.

BUNDA        
Apa pedulimu. Siapa kalian?

MALIN         
Mereka adalah anak-anak Malin, Bunda. Mereka adalah putera sejarah masa depan.

ORANG        
Cukupkan sudah. Kekerasan demi kekerasan.

ORANG        
Hentikan sudah, bentakan dan cacian.

ORANG        
Peluklah kami. Ajari kami cinta. Sayangilah kami.

BUNDA        
Anak-anak, kalian adalah anak-anakku juga.

SEMUA BERPELUKAN.

BUNDA        
Kalau sampai sekarang kalian bisa melihat batu Malin Kundang, kalian juga bisa melihat penderitaan bunda. Kalau tidak dengan mata kalian, nama bunda akan terbaca dalam darah kau. Tertulis semua dengan huruf besar. Berwarna merah dan selalu basah.

BUNDA REBAH. OMBAK LARA MENDESAH. UDARA MALAM MENGIRIMKAN TANGISAN. BUNDA DIUSUNG DENGAN UPACARA DAN NYANYIAN.

PENYANYI   
Langit pucat mengarak duka terlalu pekat
Angin laut mengusung asin garam terlalu lekat
Ingatkan karat dalam rongga dada terlalu sarat
Terlalu lama membusuk dan berkerak-kerak

Tiada sesal yang paling dalam
Kecuali kasih terhunus salah paham
Tiada duka yang membekukan darah
Kecuali duka oleh kasih bunda

DALANG       
Mari semua berdekapan
Sudahi kekerasan demi kekerasan
Demi melangkah ke masa depan
Dengan cinta sebagai pedoman.
  

SELESAI

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...