Apa jadinya jika seorang pendekar pedang tak paham karakter pedang yang ia gunakan? Tak paham bagaimana tajam, berat dan ukuran pedangnya? Tidak mengerti bagaimana mengayun, menusuk dan menyabet ke arah musuh?
Belakangan ini saya makin banyak mengedit beberapa novel dan cerpen. Sebagian bagus, sebagian lagi nggak terlalu bagus. Dari kegiatan ini, setidaknya saya bisa menyimpulkan satu hal: Kendala terbesar yang dihadapi penulis adalah rata-rata mereka memiliki penguasaan yang tidak bagus terhadap bahasa. Padahal, bahasa adalah senjata atau perangkat wajib bagi penulis dalam bekerja menghasilkan karyanya.
Masalah ini menjadi akut ketika seorang penulis menulis tanpa banyak membaca. Tanpa membaca, logika bertutur mustahil akan bagus. Keadaan paling kacau adalah ketika penulis tak paham bagaimana meletakkan titik atau koma dalam kutipan dialog tokohnya. Padahal, bagi saya, ini adalah jurus dasar menulis. Seorang penulis harus paham bagaimana menulis yang baik. Kalau malas belajar EYD, setidaknya belajarlah dari buku yang sudah terbit dan disunting dengan baik. Minimal, bagimana menulis tanda kutip dan titik koma dalam dialog.
Bayangkan, ada penulis yang menulis titik setelah tanda kutip di satu dialog, dan menulisnya di dalam tanda kutip pada dialog lain. Ah, ini keterlaluan! Tidak konsisten dan seolah meraba-raba bagaimana menulis tanda baca yang benar. Belum lagi penggunaan titik yang kebanyakan, tanda tanya dan tanda seru yang melimpah ruah. Hei, menulis untuk umum itu tidak boleh disamakan dengan menulis diary!
Itu baru kesalahan umum dan terjadi pada tingkat dasar sekali dalam menulis. Belum lagi dengan masalah efektifitas kalimat, pemborosan kata dan logika bercerita. Ayolah, editor itu bukan penyempurna tulisan, tapi teman mengobrol dan kosnsultasi bagi penulis. Penulis harus belajar dan belajar!
Jika membaca, seorang penulis tidak lagi hanya menjadi pembaca pasif seperti orang yang bekerja bukan sebagai penulis. Penulis membaca sambil bekerja, pekerjaannya adalah belajar dan menganalisa bacaannya.
Dalam beberapa situasi, penulis bisa disamakan dengan pendekar. Pendekar yang tak paham dengan pedangnya bisa saja menjadi ancaman bagi orang lain dan dirinya sendiri. Paham senjata, paham perangkat, baru bekerja.
Belakangan ini saya makin banyak mengedit beberapa novel dan cerpen. Sebagian bagus, sebagian lagi nggak terlalu bagus. Dari kegiatan ini, setidaknya saya bisa menyimpulkan satu hal: Kendala terbesar yang dihadapi penulis adalah rata-rata mereka memiliki penguasaan yang tidak bagus terhadap bahasa. Padahal, bahasa adalah senjata atau perangkat wajib bagi penulis dalam bekerja menghasilkan karyanya.
Masalah ini menjadi akut ketika seorang penulis menulis tanpa banyak membaca. Tanpa membaca, logika bertutur mustahil akan bagus. Keadaan paling kacau adalah ketika penulis tak paham bagaimana meletakkan titik atau koma dalam kutipan dialog tokohnya. Padahal, bagi saya, ini adalah jurus dasar menulis. Seorang penulis harus paham bagaimana menulis yang baik. Kalau malas belajar EYD, setidaknya belajarlah dari buku yang sudah terbit dan disunting dengan baik. Minimal, bagimana menulis tanda kutip dan titik koma dalam dialog.
Bayangkan, ada penulis yang menulis titik setelah tanda kutip di satu dialog, dan menulisnya di dalam tanda kutip pada dialog lain. Ah, ini keterlaluan! Tidak konsisten dan seolah meraba-raba bagaimana menulis tanda baca yang benar. Belum lagi penggunaan titik yang kebanyakan, tanda tanya dan tanda seru yang melimpah ruah. Hei, menulis untuk umum itu tidak boleh disamakan dengan menulis diary!
Itu baru kesalahan umum dan terjadi pada tingkat dasar sekali dalam menulis. Belum lagi dengan masalah efektifitas kalimat, pemborosan kata dan logika bercerita. Ayolah, editor itu bukan penyempurna tulisan, tapi teman mengobrol dan kosnsultasi bagi penulis. Penulis harus belajar dan belajar!
Jika membaca, seorang penulis tidak lagi hanya menjadi pembaca pasif seperti orang yang bekerja bukan sebagai penulis. Penulis membaca sambil bekerja, pekerjaannya adalah belajar dan menganalisa bacaannya.
Dalam beberapa situasi, penulis bisa disamakan dengan pendekar. Pendekar yang tak paham dengan pedangnya bisa saja menjadi ancaman bagi orang lain dan dirinya sendiri. Paham senjata, paham perangkat, baru bekerja.
No comments:
Post a Comment