BAPAK MUHAMMADIYAH
Ia adalah ulama Islam pertama Indonesia yang memberikan pendidikan dan perbaikan kehidupan bangsa melalui organisasi. Sebagai anggota Boedi Oetomo yang aktif mengajar tokoh-tokoh nasionalis di dalamnya, ia berperan dalam sejarah kebangkitan nasional abad 20-an.
KH Akhmad Dahlan, seorang ulama besar Indonesia, tokoh pembaru praktek keagamaan di Indonesia dan pendiri Muhammadiyah. Penerobos tradisi-tradisi lama dalam praktek agama Islam. Membetulkan arah kiblat masjid-masjid di Yogyakarta, dan penggagas pelajaran pengetahuan umum masuk sekolah-sekolah agama. Memurnikan agama Islam dari percampuran dengan agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen. Sempat dituduh sebagai kyai palsu dan diancam dibunuh oleh um’mat yang belum setuju dengan pembaruan yang diajarkannya. Ia juga pernah dituduh sebagai orang yang menyesatkan karena berani mengajarkan pengetahuan umum di sekolah agama.
Ia menjadi anggota Boedi Oetomo dan aktif mengajar tokoh-tokoh nasionalis di dalamnya yang kemudian berperan sangat besar dalam sejarah kebangkitan nasional abad 20-an. Kini, pembaruan yang diajarkannya telah diakui oleh hampir seluruh umat muslim di Tanah Air maupun dunia. Namanya pun begitu harum dan tidak akan termakan zaman.
Awal abad duapuluh, boleh dikatakan kehidupan beragama umat Islam Indonesia sedang dalam keadaan mundur. Di antara um’mat tidak ada persatuan sehingga um’mat menjadi lemah. Begitu juga dengan ajaran agama, banyak sekali dipengaruhi oleh hal-hal berbau mistik. Melihat keadaan demikian, KH Akhmad Dahlan merasa prihatin. Dalam benaknya, beliau berkesimpulan bahwa untuk memajukan umat Islam di Indonesia harus dilakukan pembaruan di bidang praktik keagamaan. Pembaruan itu sendiri harus dimulai dengan cara mengadakan perbaikan di bidang kemasyarakatan.
Kyai Dahlan kemudian merealisasikan rencananya tapi dengan cara yang cukup berbeda dari para ulama umumnya. Jika ulama lain dalam melakukan pendidikan biasanya melalui pondok pesantren atau kitab karangannya, namun KH Ahmad Dahlan melakukannya melalui sebuah organisasi.
Kiai kelahiran Kauman, Yogyakarta yang awalnya bekerja sebagai ketib (khatib) keraton Yogyakarta, ini memperhatikan arah kiblat di masjid keraton dan Yogyakarta umumnya tidak benar. Maka pertama-tama, beliau berusaha membetulkan arah kiblat di Masjid Sultan di Keraton Yogyakarta ke arah yang sebenarnya yaitu dari yang sebelumnya mengarah ke Barat menjadi ke Barat Laut, namun ketika itu pihak keraton menolak.
Kecewa pada pihak keraton yang tidak membolehkannya membetulkan kiblat di masjid keraton tersebut, Kiai Dahlan ingin meninggalkan kota kelahirannya tersebut, tetapi salah seorang keluarganya menghalangi niatnya itu dengan membangun mushala lain. Di situlah beliau dapat mengajarkan dan mempraktekkan ajaran agama serta keyakinannya.
Upaya membetulkan arah kiblat terus dilakukan. Di masjid besar Yogyakarta, beliau membuat garis-garis saf menurut yang semestinya. Namun masyarakat ketika itu menjadi gempar dan marah. Garis-garis saf yang dibuatnya itu sempat dihapus orang bahkan surau miliknya dibongkar.
Bersama kawan-kawannya, beliau juga memperbaiki kondisi higienis di daerah Kauman. Ia ingin membersihkan umat Islam secara fisik maupun mental spiritual.
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota.
Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri.
Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum.
Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang. Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.
Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada Muhammadiyah. Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia.
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
KH Akhmad Dahlan lahir 1 Agustus 1868 di Kauman, Yogyakarta. Beliau bernama kecil Muhammad Darwis. Merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara putra K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, seorang khatib di Masjid Sultan. Ibunya bernama Siti Aminah, putri dari Haji Ibrahim, seorang penghulu kesultanan.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
Ketika dalam pencarian ilmu, Kiai Dahlan pernah sekamar dengan KH.Hasyim Asy'ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama. Pengalaman sekamar tersebut terjadi selagi belajar kepada KH. Sholeh Darat di Semarang. KH. Sholeh Darat, juga merupakan guru dari salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yakni Raden Ajeng Kartini.
Dalam sejarah, beliau tercatat dua kali berangkat ke tanah suci, Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, sekaligus menuntut ilmu agama. Masih di usia 21 tahun, Kiai Dahlan sudah berangkat ke Mekkah. Selama setahun beliau belajar di Mekkah. Salah seorang gurunya di sana adalah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, ulama asal Padang yang menjadi Imam Masjidil Haram ketika itu.
Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi ini juga merupakan guru dari beberapa ulama besar di tanah air di antaranya, KH. Hasyim Asy'ari, pendiri NU ; Haji Abdul Karim Amrullah - ayahanda dari Buya Hamka ; Syekh Muhammad Djamil Djambek, keduanya pendiri gerakan Kaoem Moeda di Sumatra Barat; dan Haji Agus Salim, Wakil Ketua Syarikat Islam dan Pembina Jong Islamieten Bond.
Dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi ini pulalah Kiai Dahlan berkenalan dengan pemikiran trio reformis Sayid Jamaluddin Al Afghani-Syekh Muhammad Abduh-Syekh Muhammad Rasyid Ridha.
Pada tahun 1909, Kyai Dahlan masuk Boedi Oetomo. Kemudian mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Beliau memimpin Muhammadiyah sampai tahun 1923 kemudian digantikan oleh KH. Ibrahim.
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.
Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
No comments:
Post a Comment