Dengan menyebut nama Allah. Saya tidak habis pikir dengan orator dungu seorang kawan yang mengatakan betapa rendah kualitas pesantren di mata dunia. Tidak, bila perlu saya berdiri di atas menara Eifel berideologi dengan lantang bahwa mental universal pesantren sesungguhnya masih berstatus people power of hero di mata dunia.
Pelecehan kurang ajar terhadap pesantren tidak sepatah kata dua saya dengar. Banyak, bahkan telinga saya sering di buat panas oleh argumen spektakuler namun kerdil hakikatnya. Betul kata Habib Muhammad Alaydrus bahwa zaman sudah dikebiri oleh disfungsi moral bobrok manusia. Kita sudah terpukau oleh akselerasi tekhnologi semu sehingga tanpa kita sadari bahwa secara halus kita sudah melupakan segmen performance pendidikan budi pekerti.
Sadar ataupun tidak, esensi spiritualitas dunia saat ini sudah hancur oleh idealisme tangan kerdil manusia yang bermoral bejat. Apa arti kecanggihan modernitas tekhnologi kalau orang yang menghuni dunia sudah dimanipulasikan moral subversif hayawani di mana statusnya malah lebih parah dari amoniak bau busuk yang menyiksa lubang hidung nasionalisme. Pendapat kawan saya adalah satu kesenjangan parsial di antara ratusan bahkan jutaan manusia yang pikirannya sudah dijajah ideologi edannya potensialitas sentimen zaman. Ia tidak meneliti bahwa kualitas eksplisit pesantren sebenarnya masih bernilai empirik konkret di mata dunia. Khususnya Indonesia.
Maka manusiapun berlomba mengejar orientasi ijasah formal di sekolah. Bagi mereka, bagaimana caranya bisa menikmati keserakahan dunia dan bukan mencicipi kenyamanan fregmentasi gobal dibawah lindungan Allah. Begitu terlenanya segmentasi mereka, sampai tanpa tedeng aling-aling lagi saat menikmati keserakahan itu mereka anteng-anteng saja memarginalkan pesantren dengan statemen keparat tak berkualitas di atas semesta bumi.
Jika mereka mau berpikir, Merenungkan kembali tentang radikalisme argument yang telah mereka koarkan. Maka modarlah kawan saya itu, teori empirik dari ijazah formal yang mereka kejar di sekolah ternyata bukan vonis menjanjikan hidup bahagia. Sudah banyak sebenarnya para sarjana genius yang dulunya gagah berani dengan percaya diri mensuarakan pengerdilan terhadap pesantren. Kenyatannya malah angkong-angkong mawon di rumah menjadi pengangguran yang situasinya malah kusut berantakan. Ada juga yang memobilisasikan pekerjaannya menjadi tak berharga dibanding mereka yang lulusan universitas pesantren.
Kualitas santri di puncak dunia masih berharga. Itu yang saya lihat sekarang. Meski dulunya cuma makan terong dan gudig, tapi revolusioner yang mereka fantasikan begitu mencusuar di daratan bumi Indonesia. Dari yang menjabat bupati sampai menteri, ada juga yang menjadi presiden. Semuanya merupakan bukti betapa kesalafan seorang santri sebetulnya masih bermanfaat jika disinergikan bagi peradaban negeri ini. Sumbangsih pikiran dan tenaga santri sebenarnya masih sangat familiar bagi mekanisme peradaban dunia.
Maka, mari tetap istiqomah dijalan kita, tetap optismis dan percaya diri, dengan mencintai produk pesantren dan status tetap santri. Giliran kita yang berkomentar betapa paradigma pesantren dan mereka yang berstatus komunitas santri sesungguhnya masih brilliant dimata dunia. Biarkan orang mencibir. Biarkan mereka modar oleh fenomena berpikir histeria-psikis yang primitif dimana seseorang tidak lagi memiliki modus nurani yang civilized akibat pengaruh sistem modernitas dan problematika ketololan global. Marilah tetap istiqomah mengikuti ekpresi otoritas kyai. Sekali santri, selamanya tetap santri. Yang jelas, kita masih punya harga diri. Pegang erat-erat dimensi akidah kontemporer macam itu.
“Enaknya jadi santri, seumur hidup, kita akan terus menerus didoakan kyai, dan itu merupakan bonus tersendiri yang tidak kita dapatkan dari pendidikan manapun,” celetuk seorang sahabat. Mengingatkan saya pada suatu hari. Wallahu a’lam
Pelecehan kurang ajar terhadap pesantren tidak sepatah kata dua saya dengar. Banyak, bahkan telinga saya sering di buat panas oleh argumen spektakuler namun kerdil hakikatnya. Betul kata Habib Muhammad Alaydrus bahwa zaman sudah dikebiri oleh disfungsi moral bobrok manusia. Kita sudah terpukau oleh akselerasi tekhnologi semu sehingga tanpa kita sadari bahwa secara halus kita sudah melupakan segmen performance pendidikan budi pekerti.
Sadar ataupun tidak, esensi spiritualitas dunia saat ini sudah hancur oleh idealisme tangan kerdil manusia yang bermoral bejat. Apa arti kecanggihan modernitas tekhnologi kalau orang yang menghuni dunia sudah dimanipulasikan moral subversif hayawani di mana statusnya malah lebih parah dari amoniak bau busuk yang menyiksa lubang hidung nasionalisme. Pendapat kawan saya adalah satu kesenjangan parsial di antara ratusan bahkan jutaan manusia yang pikirannya sudah dijajah ideologi edannya potensialitas sentimen zaman. Ia tidak meneliti bahwa kualitas eksplisit pesantren sebenarnya masih bernilai empirik konkret di mata dunia. Khususnya Indonesia.
Maka manusiapun berlomba mengejar orientasi ijasah formal di sekolah. Bagi mereka, bagaimana caranya bisa menikmati keserakahan dunia dan bukan mencicipi kenyamanan fregmentasi gobal dibawah lindungan Allah. Begitu terlenanya segmentasi mereka, sampai tanpa tedeng aling-aling lagi saat menikmati keserakahan itu mereka anteng-anteng saja memarginalkan pesantren dengan statemen keparat tak berkualitas di atas semesta bumi.
Jika mereka mau berpikir, Merenungkan kembali tentang radikalisme argument yang telah mereka koarkan. Maka modarlah kawan saya itu, teori empirik dari ijazah formal yang mereka kejar di sekolah ternyata bukan vonis menjanjikan hidup bahagia. Sudah banyak sebenarnya para sarjana genius yang dulunya gagah berani dengan percaya diri mensuarakan pengerdilan terhadap pesantren. Kenyatannya malah angkong-angkong mawon di rumah menjadi pengangguran yang situasinya malah kusut berantakan. Ada juga yang memobilisasikan pekerjaannya menjadi tak berharga dibanding mereka yang lulusan universitas pesantren.
Kualitas santri di puncak dunia masih berharga. Itu yang saya lihat sekarang. Meski dulunya cuma makan terong dan gudig, tapi revolusioner yang mereka fantasikan begitu mencusuar di daratan bumi Indonesia. Dari yang menjabat bupati sampai menteri, ada juga yang menjadi presiden. Semuanya merupakan bukti betapa kesalafan seorang santri sebetulnya masih bermanfaat jika disinergikan bagi peradaban negeri ini. Sumbangsih pikiran dan tenaga santri sebenarnya masih sangat familiar bagi mekanisme peradaban dunia.
Maka, mari tetap istiqomah dijalan kita, tetap optismis dan percaya diri, dengan mencintai produk pesantren dan status tetap santri. Giliran kita yang berkomentar betapa paradigma pesantren dan mereka yang berstatus komunitas santri sesungguhnya masih brilliant dimata dunia. Biarkan orang mencibir. Biarkan mereka modar oleh fenomena berpikir histeria-psikis yang primitif dimana seseorang tidak lagi memiliki modus nurani yang civilized akibat pengaruh sistem modernitas dan problematika ketololan global. Marilah tetap istiqomah mengikuti ekpresi otoritas kyai. Sekali santri, selamanya tetap santri. Yang jelas, kita masih punya harga diri. Pegang erat-erat dimensi akidah kontemporer macam itu.
“Enaknya jadi santri, seumur hidup, kita akan terus menerus didoakan kyai, dan itu merupakan bonus tersendiri yang tidak kita dapatkan dari pendidikan manapun,” celetuk seorang sahabat. Mengingatkan saya pada suatu hari. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment